Siau Lo-seng berhasil mendapatkan tempat yang sesuai. Ia membawa Pek Wan Taysu ke dalam sebuah guha dari sebuah karang tinggi yang di kelilingi pegunungan.
Luka dalam yang diderita paderi Siau-lim itu memang parah dan saat itu keadaannya memang sudah payah sekali.
Buru-buru Siau Lo-seng meletakkan tubuh paderi itu lalu mulai mengurut seluruh jalan darah di tubuhnya untuk melancarkan darahnya.
Tak berapa lama paderi itupun dapat menghela napas dan membuka mata.
"Ah, sungguh tak kira kalau pukulan nona itu begitu sakti sekali," katanya.
"Bukan pukulannya, paman," Siau Lo-seng menerangkan, "tetapi pukulan yang paman derita itu sebenarnya berasal dari tenaga pukulanku yang disedot lalu dipancarkan oleh tenaga balik dari nona itu!"
Mendengar keterangan itu Pek Wan Taysu tertawa rawan.
"O, kiranya begitu," katanya, "jika demikian matipun aku sudah puas."
Berkata Siau Lo-seng dengan serius: "Tidak paman. Sekalipun lukamu parah tetapi sekarang sudah tak berbahaya. Asal sudah menyalurkan tenaga dalam beberapa waktu. tentu sudah sembuh kembali."
Memang setelah diurut oleh Lo-seng, Pek Wan Taysu rasakan dadanya tenang dan longgar napasnya. Ia segera duduk bersila untuk menyalurkan ilmu pernapasan.
"Lo-seng," katanya beberapa saat kemudian "walaupun usiamu masih muda tetapi engkau telah memiliki ilmu pengobatan yang tinggi. Kuyakin, arwah ayahmu tentu akan gembira di alam baka."
Teringat akan keadaan dirinya yang takkan dapat hidup lama, merahlah muka Lo-seng.
"Lo-seng," kata Pek Wan Taysu pula, "engkau tentu letih juga. Baiklah engkau juga bersemedhi memulangkan tenaga."
Setelah paderi itu pejamkan mata melakukan ilmu pernapasan.
Lo-seng tak dapat menahan luapan kesedihannya. Butir-butir air matanya pun menitik keluar.
Bayangan maut yang segera akan menimpah dirinya, mulai menghantui pikirannya. Bukan karena ia bersedih harus mati tetapi karena ia merasa belum dapat menghimpaskan dendam darah keluarganya, Jangankan membalas, sedang siapa pembunuh dari keluarganya itu, tetap ia belum dapat mengetahui jelas.
Perlombaan itulah yang menindih perasaan hatinya. Kalau, ia telah membalas sakit hati dan mati, ia puas. Tetapi bagaimana kalau ia sudah harus mati sebelum dapat menghimpaskan dendam darah itu? Ah......
Adalah karena tekadnya sudah bulat untuk menuntut balas maka ia sampai meminum obat racun yang paling ganas. Empat obat racun yang tergolong jenis racun paling ganas di dunia telah diminumnya. Tak lain sekedar supaya ia dapat bertahan hidup sampai ia menyelesaikan dendam darah keluarganya itu.
Ia pun menyadari pula bahwa racun yang diminumnya itu hanya dapat mempertahankan hidupnya sampai waktu yang tertentu saja. Pun ia menyadari pula bahwa racun itu apabila salah jalan tentu akan menjadikan dia seorang momok pembunuh yang amat ganas. Seorang pembunuh yang haus darah!
Kemungkinan ia akan menjadi semacam manusia hidup yang tak berjiwa dan mati perasaannya, seperti nona cantik baju biru itu.
Demikian pikiran Lo-seng melayang-layang mengembara sehingga tak terasa ia telah jatuh lelah......
Matahari mulai condong ke barat dan merayap di punggung gunung. Tak lama lagi malam tentu akan segera tiba.
Entah sampai berapa lama, tiba-tiba Siau Lo-seng mendesis, membuka mata dan memandang ke sekeliling.
Rupanya Pek Wan Taysu terkejut juga mendengar desis mulut Lo-seng. Iapun segera membuka mata dan menegur: "Mengapa engkau Lo-seng?"
"Pada waktu bersemedhi tadi, agaknya aku mendengar suara adik angkatku berseru memanggil namaku," kata Lo-seng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...