"Kalau bertemu dengan ahli pedang, engkau tentu sudah menderita luka," menambahkan orang tua baju putih itu pula.
Merah padam selebar wajah Siau Lo-seng menerima kritikan itu. Diam-diam diapun malu dalam hati, pikirnya, "Sekali ngoceh, dia telah membongkar kelemahanku. Hm, tetapi jelas dia bukan hendak membakar hatiku melainkan hendak memberi petunjuk."
Baru ia hendak membuka mulut, Leng Tiong-siang pun sudah mendahului:
"Kepandaianmu masih begitu lemah masakan engkau layak akan mengajak orang merundingkan soal menegakkan keadilan dalam dunia persilatan. Apalagi hendak menuntut balas kematian berdarah dari orang-orang di Hay-hong-cung. Dan lagi pula, akupun sudah engkau anggap sebagai salah seorang musuhmu. Apakah setelah kalah, engkau tak berani bertempur lagi? Huh, manusia takut mati semacam engkau, tak perlu menepuk dada mengumbar omong besar!"
Mendengar ejekan itu, meluap pulalah kemarahan Siau Lo-seng. Dia merasa bahwa Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang yang berada di hadapannya saat itu, penuh dengan selubung rahasia dan keanehan. Kepandaiannya sukar diduga. Demikian sikapnya. Sebentar bermusuhan sebentar bersahabat.
"Ah, tanpa menderita, tentu takkan memperoleh pelajaran," pikir Siau Lo-seng. Maka segera ia tertawa dingin.
"Apa maksudmu berkata begitu?" serunya.
"Kalau aku sungguh-sungguh menghendaki jiwamu, mungkin engkau takkan hidup sampai saat ini," kata orang tua itu menghela napas.
"Tetapi tidak semudah itu engkau hendak mengambil jiwaku. Harus mengambil dari tubuhku," seru Siau Lo-seng.
"Kalau aku hendak mengambil jiwamu, perlu apa aku menolongmu dari Bu-tong-san lalu baru membunuhmu di sini?"
"He, jangan bersikap seperti tikus yang menangisi kematian kucing. Tak mungkin aku akan berterima kasih kepadamu......." dengus Siau Lo-seng, "pada saat aku tak sadar, engkau mengambil pedangku Ular Emas dan menyuruh seorang menyaru sebagai diriku untuk melakukan pembunuhan di Bu-tong-san. Kemudian pada saat aku sedang dalam bahaya dikepung barisan pedang Bu-tong-pay, engkau muncul lagi untuk menolongku. Dengan begitu aku tentu tak dapat menuduhmu mencelakai diriku. Tetapi apa engkau kira aku tak tahu akal busukmu itu? Jika engkau kira tindakanmu itu dapat mengelabuhi mata orang di dunia persilatan, engkau mengimpi atau memang pikiranmu itu seperti anak kecil."
Mendengar itu Leng Tiong-siang terbeliak dan tertegun sampai beberapa saat.
"Taruh kata hal itu memang benar tipu muslihatku," katanya beberapa jenak kemudian, "lalu apakah dayamu supaya engkau dapat lolos dari kedosaan itu?"
Sebenarnya Siau Lo-seng hanya merangkai dugaan dan menuduhnya begitu. Tak kira kalau Leng Tiong-siang mengaku semuanya. Jika demikian jelas Leng Tiong-siang inilah biang keladi pembunuhan di Bu-tong-san!
Tetapi apakah gerangan tujuannya untuk melakukan pembunuhan itu? Apakah dia memang hendak mencelakai Siau Lo-seng? Tetapi apa sebab dia memfitnah anak muda itu?
Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Dia menduga musuh besarnya, pembunuh ganas yang telah menghancurkan seluruh keluarganya pada delapanbelas tahun yang lalu, ternyata orang tua yang berdiri di hadapannya itu.
Dada Siau Lo-seng serasa terbakar api dendam kesumat yang menyala-nyala.
"Kucari ke seluruh penjuru dunia tak berjumpa, kiranya tanpa banyak membuang tenaga sudah muncul sendiri. Engkau tak menghendaki jiwaku tetapi akulah yang menghendaki jiwamu!"
Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan tabaskan Pedang Ular Emas ke kepala Leng Tiong-siang. Tetapi orang tua itn tenang-tenang saja mengawasi luncur pedang Siau Lo-seng. Begitu pedang hampir menyentuh kepalanya, tiba-tiba ia mengangkat pedangnya untuk melidungi kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...