Tiba-tiba pula Siau Lo-seng berpaling kepada Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, serunya "Paman Kwik, dimanakah ayahku sekarang?"
"Dia memikat supaya Buddha emas Ang Siong-pik tinggalkan lembah ini. Sekarang aku pun juga tak tahu dia berada di mana. Tetapi menurut dugaanku, dia tentu menuju ke Ban-jin-kiong untuk mencari Ban Jin-hoan."
"Jika begitu aku harus ke Ban-jin-kiong," kata Siau Lo-seng.
"Seorang diri?" tanya Hun-ing.
"Bagaimanapun juga aku harus membuat perhitungan dengan Ban Jin-hoan," kata Siau Lo-seng. Kemudian ia menyampaikan berita yang diucapkan oleh adik angkatnya Bok-yong Kang kepada sekalian orang di situ.
"Ban-jin-kiong pasti akan melaksanakan rencananya," kata Siau Lo-seng pula, "untung sekarang kita masih dapat menghancurkan kekuatannya. Hanya saja tak boleh bertindak sccara gegabah melainkan secara diam-diam menyerbu dan pada suatu saat yang tak diduga-duga, kita serempak bergerak menghancurkan Ban-jin-kiong."
Habis berkata ia berpaling ke arah Tay Hui Sin-ni lalu Kwik Ing-tat, serunya:
"Kuharap paman Kwik dan Tay Hui Sin-ni cianpwe suka memberi bantuan. Entah bagaimana pendapat cianpwe."
Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.
"Tanpa engkau minta, aku sendiri juga akan membuat pertarungan dengan Ban-jin-kiong. Tahukah engkau bahwa jiwaku orang tua ini juga hampir melayang di tangannya?" kata Kwik Ing-tat.
Tay Hui Sin-ni menghela napas.
"Omitohud! Siau sauhiap, kabut rahasia yang menyelimuti dendam darahmu, kini sudah tersingkap jelas. Kutahu engkau tentu mendendam sekali. Walaupun engkau mempunyai dendam tak dapat hidup di bawah kolong langit dengan Ban Jin-hoan. Tetapi engkau harus tahu bahwa dendam dan pembalasan itu akan berlarut-larut tiada berkeputusan. Demi membalas dendam di Hay-hong-cung, entah sudah berapa banyak jiwa yang engkau bunuh? Tahukah engkau berapa banyak anak yang sebatang kara karena ditinggal oleh kedua orang tuanya? Betapa sengsaralah hidup mereka itu?"
Siau Lo-seng tergetar. Seketika teringatlah ia akan semua peristiwa yang telah dialaminya selama ini.
"Bukan maksudku hendak melarang engkau membalas dendam," kata Tay Hui Sin-ni, "Ban Jin-hoan mempunyai dendam darah kepadamu. Diapun seorang durjana dunia persilatan. Setiap orang berhak untuk menumpasnya, sebagaimana setiap kaum persilatan berhak untuk menjaga keselamatan dunia persilatan. Tetapi kini darah dan korban sudah banyak sekali yang jatuh. Aku tak sampai hati lagi melihat timbulnya peristiwa berdarah pula. Kuharap apabila mungkin dihindarkan, hindarkanlah."
"Petunjuk Sin-ni sungguh mulia sekali. Menandakan bahwa Sin-ni mengandung hati welas asih yang besar. Maka akupun tak berani memaksa Sin-ni harus ikut dalam perjalanan ini," kata Siau Lo-seng.
"Tay Hui Sin-ni," Hun-ing ikut bicara, "gerakan untuk menumpas Ban-jin-kiong harus tetap dilakukan. Kita tak menumpasnya, dia akan menumpas kita. Apalagi saat ini mungkin adik Cu-ing, Pek Wan Taysu serta paderi anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin masih berada di tangan mereka. Betapapun kita tak dapat tak bertindak menolong mereka."
"Apa? Paman Pek Wan masih ditawan di Ban-jin-kiong?" Siau Lo-seng berseru kaget.
"Ya," sahut Hun-ing, "bahkan mungkin kesadaran pikiran merekapun telah dihilangkan."
"Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si, menggetarkan seluruh dunia persilatan. Bagaimana mereka dapat ditawan pihak Ban-jin-kiong? Apa pula Pek Wan Taysu itu seorang tokoh sakti. Walaupun dalam tawanan Ban-jin-kiong, mereka tentu takkan terancam bahaya," kata Tay Hui Sin-ni.
Tiba-tiba kedengaran Ui Siu-bwe menghela napas ringan, serunya:
"Kali ini perhitungan Sin-ni kurang tepat. Walaupun barisan Tat-mo-coa-ci-tin itu tiada lawan tetapi bukan tandingan dari ilmu Thian-siau-mo-gak dari perguruan Thian-sian-bun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...