"Sudah bertahun-tahun aku mencari jejak peristiwa itu, tetapi belum juga kuketemukan sumber yang sesungguhnya. Tetapi memang pamankulah yang melemparkan diriku ke dalam jurang pada waktu itu. Sampai detik ini aku masih ingat akan wajahnya yang menyeramkan," kata Siau Lo-seng.
"Apa? Kim-coa-mo-kiam Siau Mo yang melakukan perbuatan terkutuk itu? Ah, sungguh di luar dugaan sama sekali. Tidak, tidak mungkin. Apakah engkau benar-benar melihat jelas dia yang melemparkan engkau......."
Siau Lo-seng tertegun. Baru pertama kali itu ia mendengar bahwa pamannya Siau Mo ternyata bergelar Kim-coa-mo-kiam atau Iblis pedang ular emas.
"Bukan saja melempar diriku ke bawah jurang, pun kulihat sendiri dia telah membunuh guruku wanita Kui Lan. Masakan aku tak dapat mengenali seorang paman yang tiap hari berada bersama keluargaku?" seru Siau Lo-seng kurang puas.
Tampak rahib menegang wajahnya.
"Omitohud!" serunya, "Dosa, dosa sungguh di luar persangkaan orang bahwa Siau Mo akan melakukan perbuatan sehina itu."
Diam-diam Siau Lo-seng heran mengapa ketika membicarakan diri Siau Mo, mendadak wajah Tay Hui Sin-ni berobah sedemikian tegang.
Ia hendak menanyakan hal itu tetapi tiba-tiba wajah rahib itu tampak tenang kembali.
"Siau sauhiap, kenalkah engkau pada seorang peniup seruling?" tanyanya.
Bukan main kejut Siau Lo-seng mendapat pertanyaan itu. Seketika iapun teringat bahwa ke empat orang baju hitam tadi seperti lari ke luar dari loteng tempat Gi-hunya si orang tua peniup seruling. Ya. mengapa sampai saat itu belum juga ia melihat suatu tanda-tanda dari Gi-hunya itu?"
Seketika menyahutlah Siau Lo-seng: "Dia adalah Gi-hu ku......"
Habis berkata ia terus berputar tubuh lalu bergegas lari ke arah loteng, Sudah tentu Tay Hui Sin-ni terkesiap lalu menyusul anak muda itu.
Selekas masuk ke dalam ruang loteng, tergetarlah hati Siau Lo-seng ia mendapat firasat tak baik tentang diri Gi-hu nya.
Ruangan tampak kacau balau. Lantai penuh berserakan belasan mayat orang-orang baju hitam. Rupanya di ruang itu telah terjadi suatu pertempuran dahsyat.
Tetapi kemanakah gerangan perginya orang tua peniup seruling itu?
Bergegas-gegas Siau Lo-seng lari ke dalam lagi. Keadaan di situpun mengejutkan hati. Berpuluh-puluh kawanan Baju Hitam terkapar malang melintang memenuhi ruang.
Tay Hui Sin-ni berjongkok dan meraba pernapasan seorang mayat lalu memeriksa pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian ia berpaling dan geleng-geleng kepala: "Mereka sudah mati semua......"
Siau Lo-seng pun memeriksa sebuah mayat, serunya: "Ah, mereka telah terkena ilmu tutukan istimewa. Karena tak dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu akhirnya darah mereka membeku dan orangnyapun mati."
"Bagaimanakah ini?" tanya Tay Hui Sin-ni.
Siau Lo-seng merenung.
"Saat ini aku tak dapat memberi penjelasan apa-apa kepada Sin-ni," katanya sesaat kemudian, "Gi-hu ku yalah orang tua peniup seruling itu memang tinggal di loteng ini. Dia seorang tua yang cacad, tak punya kaki dan tangan. Tetapi mengapa tiba-tiba ia lenyap?"
"Bagaimanakah perwujutan Gi-hu mu itu?" tanya Tay Hui Sin-ni.
"Rambutnya terurai sampai ke bahu, kedua kakinya sebatas lutut telah kutung dan kedua tangannya pun telah dihancurkan urat nadinya oleh orang. Tak mungkin ia dapat berjalan keluar sendiri. Kumungkinan tentu ditangkap orang."
Tay Hui Sin-ni menghela napas.
"Ah, sudah tahu dia seorang diri di sini, mengapa engkau tak berusaha untuk melindunginya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
Fiksi UmumSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...