"Hm, memang menjengkelkan sekali pamanku yang licin bagai belut dan buas seperti harimau itu. Sampai detik-detik ini-dia belum juga mau mengunjuk diri dan tetap membiarkan aku mengganas dan membunuh......."
"Apakah tak mungkin pamanmu Siau Mo itu sudah meninggal dunia?" tanya Hun-ing.
Siau Lo-seng menghela napas.
"Mungkin," katanya, "mungkin pamanku memang sudah mati. Kalau masih hidup dia tentu sudah unjuk diri. Tetapi umurku terbatas, kalau hal itu barlarut lebih lama lagi, bagaimana aku dapat menuntut balas kematian orang tua dan saudara-saudaraku? Maka, sia-sia dan celakalah aku yang telah menggunakan nama Siau Mo itu untuk melakukan perbuatan ganas selama ini......."
"Ah," Siau Lo-seng mendesah, "maka sekarang kuputuskan untuk menampakkan wajahku yang sebenarnya. Dengan umurku yang terbatas itu, aku hendak berbuat sesuatu untuk menebus dosaku yang lalu. Agar aku tak mengecewakan arwah kedua orang tuaku di alam baka!"
Mendengar penuturan itu terbukalah kini pikiran Bok-yong Kang akan sikap dan tingkah laku yang aneh dari Siau Mo selama ini. Diam-diam ia bersyukur sekali bahwa Siau Lo-seng telah sadar dan akan kembali ke jalan yang benar.
Bok-yong Kang ulurkan tangan menjabat tangan Siau Lo-seng, katanya: "Toako, engkau tak bersalah. Sekalipun taruh kata salah, dunia pun akan memaafkan kesalahanmu itu."
Darah di dada Siau Lo-seng bergolak keras. Dan berkatalah dia dengan tegang: "Bokyong-te, engkau adalah satu-satunya sahabatku yang tahu diriku. Saat ini baru aku menyadari betapa aku telah banyak membikin susah kepadamu. Selama setahun ini, aku selalu memendam kesedihan dalam hatiku sendiri dan tak membagikan kepadamu. Pun tak mau menceritakannya."
"Tidak, toako," sahut Bok-yong Kang, "engkau adalah penolongku yang melepas budi besar. Apapun kesalahan yang toako lakukan, bagiku tetap benar. Engkau tak menyalahi aku. Karena kutahu bahwa hati nuranimu itu sebenarnya amat berbudi."
Hun-ing memandang cakrawala lalu berseru: "Hari segera akan terang tanah, marilah kita lanjutkan perjalanan lagi!"
Tiba-tiba Siau Lo-seng melepaskan Pedang Ular Emas yang tersanggul di bahunya dan membuat sebuah liang di tanah. Pedang dan kedok muka dari kulit orang itu dikubur bersama-sama di tanah dalam liang itu.
"Siau Mo sudah mati. Kedok muka Pendekar Ular Emas dan pedang Ular Emas pun harus ikut dikubur. Sejak saat ini, aku Siau Lo-seng, akan menempuh hidup baru!"
"Tepat," seru si nona, "sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat Siau Mo lagi. Bila muncul orang yang menyebut dirinya Siau Mo, dialah musuh besar kita!"
Mereka bertiga segera menimbuni liang dengan tanah. Kemudian mereka lalu tinggalkan lereng gunung itu.
Tetapi tepat pada saat ketiga orang itu pergi, dari atas lereng gunung terdengar sebuah tertawa dingin. Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dan lari menghampiri ke tempat liang itu.
Cepat sekali orang aneh itu segera membongkar liang dan mengambil Pedang Ular Emas. Karena hari masih belum terang tanah maka cuacapun masih gelap sehingga tak dapat diketahui bagaimana wajah orang yang mengambil pedang Ular Emas itu.
Siapakah orang misterius itu?
◄Y►
Pada saat itu Siau Lo-seng Bok-yong Kang dan Hun-ing bertiga tengah berlari melintasi sebuah belantara sunyi. Tiba-tiba terdengar suara suitan seram memecah angkasa.
Ketiga anak muda itu terkejut dan hentikan larinya.
"Apakah toa-suci nona mengeluarkan suitan lagi?" tanya Siau Lo-seng kepada Hun-ing.
Hun-ing gelengkan kepala.
"Suitan aneh itu terang bukan ilmu Suitan Iblis dari Lembah Kumandang. Suitan itu luar biasanya tajamnya sehingga menegakkan bulu roma orang. Tak beda seperti jeritan iblis yang sesungguhnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
Ficção GeralSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...