34. Keputusan Minum Pil Racun Terakhir

1.3K 21 0
                                    

"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki wanita itu, cepatnya seperti burung terbang. Sukar untuk menandinginya......"

"Siau toako, mari cepat pergi. Kalau tidak Hiat Sat Mo-li tentu akan menyuruhnya mengejar kita lagi," seru Hun-ing.

Kali ini Lo-seng menurut. Demikian dengan gunakan ilmu gin-kang atau meringankan tubuh, mereka bertiga segera menerobos lari keluar.

Setengah jam kemudian mereka pun tiba di pegunungan yang lebat puncaknya.

"Siau toako, apakah engkau sudah bertemu dengan Nyo Jong-ho?" tiba-tiba Hun-ing bertanya.

Pek Wan Taysu menghela napas: "Ah, Nyo loenghiong sudah meninggal......."

Paderi Siau-lim itu segera menuturkan apa yang telah terjadi.

"Apakah nona Nyo sudah mengetahui kalau pembunuh ayahnya itu Giok-hou sendiri?" tanya Hun-ing.

"Karena Lo-seng kuatir nona itu akan bersedih, dan karena belum berani memastikan bahwa Giok-hou itu pembunuhnya maka Lo-seng pun belum memberitahu kepada nona Nyo," jawab Pek-wan.

Kemudian paderi itu berpaling ke arah Lo-seng: "Lo-seng, baiklah engkau bersama Ui Pang-cu kembali ke Lok-yang. Aku sendiri segera akan kembali ke gereja Siau-lim-si untuk melaporkan peristiwa ini kepada Ciang-bun-jin."

Lo-seng menghela napas.

"Paman, tak perlu paman pulang. Dalam beberapa hari ini banyak persoalan yang ingin kurundingkan dengan paman," katanya.

"Soal apa?'

"Soal setelah aku mati," kata Lo-seng.

Mendengar itu Pek Wan Taysu seperti dipagut ular kejutnya: "Seng-ji, benarkah engkau tak kan hidup lama?"

Lo-seng tertawa hambar.

"Paman Pek Wan," katanya, "kalau saat ini tak kukatakan, tentu kalian masih belum percaya."

"Benar, memang kita takkan percaya di dunia terdapat keanehan semacam ini. Minum racun tetapi tidak mati."

Hun-ing menyeletuk, "maaf, Siau toako, aku memang menyangsikan bahwa yang engkau minum itu bukan obat racun."

"Akupun juga tak pernah mendengar bahwa racun dapat mengembangkan daya kekuatan," Pek Wan Taysu ikut menambahi.

"Memang tak salah kalau kalian tak percaya," kata Lo-seng, "tetapi hal itu memang nyata. Cobalah renungkan, andaikan kata kalian belum menyaksikan sendiri seorang mayat hidup seperti Puteri Neraka dan barisan manusia tanpa nyawa dari istana Ban- jiu-kiong itu, tentulah kalian tak percaya bahwa di dunia terdapat keanehan semacam itu......."

Diam-diam Hun-ing teringat bahwa suhunya pernah mengatakan hendak menempa seorang Puteri Neraka. Tetapi kala itu ia tak percaya.

"Soal aku meminum racun untuk melawan penyakitku samalah halnya dengan cara-cara untuk melatih seorang Puteri Neraka yang disebut mumi itu," kata Lo-seng pula, "memang mencipta sebuah mumi itu sukar sekali. Tetapi racun untuk mengembangkan tenaga, memang terdapat juga dalam ilmu pengobatan."

"Benar," akhirnya Hun-ing berkata, "memang kurasa Puteri Neraka itu berumur sekitar duapuluh enam tahun......"

"Menilik kepandaian Puteri Neraka itu, dahulu dia tentu sudah memiliki ilmu silat yang sakti," kata Lo-seng.

"Mengapa?" tanya Hun-ing.

"Menciptakan seorang mumi, termasuk suatu ilmu Hitam. Seorang mumi dapat ditempa menjadi semacam mayat hidup yang tak punya kesadaran pikiran dan bertubuh baja. Tetapi sukar untuk membentuk tenaga dalam pada mumi itu. Memang barisan Sip-hun-jin itu kalah sakti dengan Puteri Neraka. Tetapi mereka pun bertubuh sekeras baja seperti Puteri Neraka itu. Maka kupastikan, sewaktu masih menjadi wanita biasa, Puteri Neraka itu tentu seorang tokoh sakti."

Pendekar 100 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang