53. Rasa Sayang Seorang Ksatria

1.4K 23 0
                                    

Kata Lo-seng, "Orang yang menyaru sebagai Nyo Jong-ho itu tentulah orang Ban-jin-kiong. Mengapa Ban-jin-kiong mengirim orang untuk menyaru sebagai Nyo Jong-ho, sudah tentu tujuannya hendak merampas Keng-hun-pit yang asli."

"Ah, tidaklah sesederhana seperti yang engkau duga," kata orang tua buntung, "tindakan pihak Ban-jin-kiong itu jelas suatu siasat untuk membuang bekas. Agar dunia persilatan menyangka bahwa pusaka Keng-hun-pit itu jatuh di tangan orang Naga Hijau. Dengan begitu perhatian orang tentu akan tertumpah pada pihak Naga Hijau. Tindakan itu sama dengan 'pinjam tangan membunuh orang'."

Pit Keng-hun-pit merupakan salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan. Setiap orang persilatan tentu sangat menginginkan sekali benda itu. Sekalipun Ban-jin-kiong berpengaruh besar tetapi mereka masih jeri untuk menghadapi serbuan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan.

"Siasat yang licik sekali!" seru Siau Lo-seng dan kedua nona.

Dengan seri muka yang berobah, berkatalah Hun-ing: "Dengan begitu bukankah Naga Hijau akan menjadi sasaran kaum persilatan? Mungkin saat ini Naga Hijau pun sudah terancam bahaya."

"Ya memang Naga Hijau saat ini terancam bahaya, ah......," orang tua itu menghela napas.

Tiba-tiba Hun-ing memberi hormat kepada orang tua itu, katanya: "Paman, banyak terima kasih atas bantuan dan petunjuk paman yang berharga. Tetapi aku masih mempunyai sedikit permintaan, entah paman......."

"Ai, mengapa tiba-tiba engkau menyanjung aku? Bukankah engkau minta aku masuk menjadi anggauta Naga Hijau?"

"Aku memang hendak mohon paman supaya memimpin kaum persilatan golong Putih untuk membasmi para durjana yang jahat. Bukan hanya menjadi anggauta saja tetapi kumohon paman suka menjabat sebagat ketua Naga Hijau."

Orang tua aneh itu tertawa.

"Memimpin kaum penegak Kebenaran, pembela Keadilan, memang setiap kaum persilatan yang murni harus merasa mempunyai kewajiban semacam itu. Tetapi jika minta aku orang tua cacat ini menjadi ketua Naga Hijau, benar-benar suatu hal yang tak berani kuterima. Namun bilamana Naga Hijau memerlukan tenagaku si orang tua cacat ini, aku tentu bersedia membantu."

"Ketahuilah," orang tua aneh itu melanjutkan, "cita-cita luhur itu, adalah terletak pada bahu kalian para anak muda. Dengan kepandaian, kesaktian kalian bertiga, ditambah pula dengan bantuanku si orang tua cacat ini, tentulah dapat mengembangkan perkumpulan Naga Hijau. Yang penting yalah seluruh anggauta Naga Hijau harus bersatu padu dalam satu tujuan yang mulia. Jangan kuatir, istana Ban-jin-kiong maupun Lembah Kumandang, pada satu hari akhirnya tentu akan dapat dihancurkan juga."

Betapa girang hati Lo-seng dan kedua nona itu sukar dilukiskan.

Serta merta Hun-ing berlutut untuk merghaturkan terima kasih kepada orang tua itu.

Orang tua buntung juga tampak berseri gembira lalu menyuruh Hun-ing bangun.

Kata Hun-ing: "Paman, nyata-nyata Naga Hijau sedang terancam bahaya. Maka pikirku, akan kembali ke Lok-yang untuk memindahkan markas besar kami ke sini. Dengan demikian kita lebih dapat bekerja dengan tenang dan teratur."

Ketiga anak muda itu terus mohon diri.

"Tunggu," seru orang tua itu, "saat ini kita sudah dikepung musuh. Kepergian kalian ini mungkin akan menderita gangguan mereka."

Terkejutlah Siau Lo-seng bertiga demi mendengar peringatan itu. Pikir mereka: "Mengapa orang tua ini sedemikian tajam indera pendengarannya? Mengapa kita sama sekali tak mendengar suatu apa? Bagaimana dia tahu kalau musuh sudah siap mengepung kita di luar.....?"

Tetapi ketiga anak muda itu memang sudah patuh dan tunduk pada orang tua peniup seruling. Mereka percaya penuh.

Dan ternyata entah kapan datangnya, memang tahu-tahu di luar halaman telah muncul empatpuluh lebih orang yang berkerudung kain hitam. Jelas mereka tentu jago-jago sakti.

Pendekar 100 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang