Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia mengangkat muka, memandang ke muka.
Tampak di sebelah muka tegak berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Wajah berbentuk pesegi. Dari bagian mata kiri sampai pada pipi, masih membekas sebuah luka goresan pedang.
Ang Piau, jago dari istana Ban-jin-kiong yang dua kali hampir mati di bawah ujung pedang Siau Lo-seng.
Ang Piau masih tetap menyanggul golok berbatang seperti gergaji di belakang punggungnya.
Tampak orang she Ang itu hendak membuka mulut tetapi tak jadi dan hanya memandang Siau Lo-seng dengan pandang keragu-raguan. Tiba-tiba ia geleng-geleng kepala dan berkata seorang diri
"Ah, bukan, bukan!"
Siau Lo-seng terkejut, Diam-diam ia telah salurkan tenaga dalam bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
"Adakah dia mengenali diriku?" pikir pemuda itu.
Dengan cepat pula Siau Lo-seng segera menilai keadaan di sekitarnya. Jalan keluar dari hutan bambu itu hanya sebuah jalan yang dapat mencapai ke dalam istana di bawah tanah.
Diperhatikannya juga bahwa mulai pada jarak satu tombak di belakang Ang Piau sehingga sampai ke mulut ruangan yang jaraknya antara tujuh tombak, di kedua tepi jalan itu penuh berjajar-jajar barisan Sip-hun-jin atau Manusia tanpa pikiran dengan memegang golok penjagal.
Sikap kawanan Sip-hun-jin itu hampir seragam. Tangan kanan masing-masing mencekal golok, punggung golok dilekatkan pada badan dan mata golok dihadapkan ke muka.
Tengah Siau Lo-seng menilai-nilai keadaan yang dihadapinya, tiba-tiba Ang Piau membentaknya bengis:
"Beritahukan namamu!"
Siau Lo-seng gelagapan. Setelah menenangkan perasaannya ia menyahut dengan tenang, "Siau Kok-su dari Kwan-gwa nomor tujuh."
°O, kiranya kawan Siau!" seru Ang Piau.
Legalah hati Siau Lo-seng. Cepat-cepat ia menyahut, "Ya, apakah aku boleh melanjutkan perjalanan?"
Sejenak melontar pandang, Ang Piau mempersilahkan Siau Lo-seng masuk.
Dengan gembira Siau Lo-seng pun segera melangkah masuk. Tetapi baru kira-kira lima langkah tiba-tiba Ang Piau membentaknya:
"Berhenti!"
Siau Lo-seng terkejut, cepat-cepat ia berpaling, "Apakah masih ada pesan lain?"
Sepasang mata Ang Piau berkilat-kilat memancar sinar pembunuhan. Ditatapnya pemuda itu dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun kepala. Sesaat kemudian pelahan-lahan ia maju menghampiri.
Siau Lo-seng mengeluh. Diam-diam ia merasa gelagatnya tidak baik. Segera ia salurkan tenaga dalam ke arah kedua tangan untuk bergerak mendahului menindas orang.
Tetapi mata yang berapi-api dari Ang Piau itupun segera pudar dan kedengaran menghela napas.
"Saudara Siau," katanya, "sekalipun engkau mengenakan kerudung muka kain hitam, kutahu bahwa engkau datang kepada kami, baiklah, silahkan masuk!"
Siau Lo-seng tertegun. Diam-diam ia kembali bersikap tenang. Dia makin bingung. Sikap dan ucapan Ang Piau yang tak menentu itu seolah-olah memberi kesan bahwa sesungguhnya Ang Piau sudah mengetahui penyamarannya. Tetapi mengapa dia mau melepaskannya?
Sejenak termenung, Siau Lo-seng melangkah ke mulut ruangan, tiba-tiba dua jajar barisan Sip-hun-jin itu serempak mengangkat golok yang berkilat-kilat tajam sekali.
Tetapi Siau Lo-seng tak gentar. Ia tetap berjalan di bawah naungan golok. Dan anehnya, Ang Piau pun tidak memberi perintah untuk menabas, dengan demikian dapatlah Siau Lo-seng mencapai pintu ruangan dan melangkah masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...