Murahan

24K 869 37
                                    

Memang sakit jika mencintai sendirian. Namun lebih sakit lagi ketika dicintai, namun jadi yang kedua.


***

Ilya celingak celinguk, ia duduk dengan gelisah dalam taksi yang di tumpanginya. Bunyi klakson terus bersahutan tanpa henti. Sesekali ia berdecak sebal saat mendapati taksi yang ia tumpangi hanya bergerak maju beberapa centi.

Ilya melirik arloji putih yang melingkar sempurna di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan setengah tiga, dan sekarang ia harus terjebak macet.

"Pak, saya turun disini aja." putus Ilya sembari mengulurkan uang untuk membayar. Lalu keluar dan berjalan di trotoar. Dengan matahari yang sangat bersinar, membuat Ilya sesekali meringis kepanasan.

Ia membuka ponselnya. Memanfaatkan kemajuan teknologi, ia membuka google maps untuk mengetahui jalan terdekat untuk menuju SMA Kencana. Ya, pertandingan basket yang dilakukan antara siswa SMA Kencana dan SMA Pelita dilakukan di SMA Kencana.

Ilya terus menyusuri jalanan dengan sesekali ia mengipas wajahnya yang memerah karna kepanasan. Kakinya juga sudah mulai sakit sekarang. Bagaimana tidak? Ia sudah berjalan sejauh lebih dari satu kilometer. Ilya kembali melirik ponsel nya, beberapa meter lagi. Ya, ia harus melanjutkan perjalanannya, ia tak ingin mengecewakan Elang.

Bohong jika ia tak ingin melihat Faris bermain dengan bola basket dengan keringat bercucuran. Faris? Kenapa harus dia? Kenapa Ilya harus mengingatnya lagi? Ilya mendumel dalam hatinya kesal.

Ddrrtttt

Ilya melirik ponselnya yang menampilkan notifikasi agar segera mengisi daya baterai. Lalu detik berikutnya, ponselnya berubah menjadi gelap. Mati.

Ilya mendesah. Kenapa ia selalu lupa untuk mengisi daya sebelum pergi kemana mana. Dan lebih sialnya lagi, ia tak membawa power bank.

Tin! Tin!

Ilya mendongak mendengar klakson mobil yang terdengar begitu dekat dengannya. Ia terkejut saat sang pemilik menurunkan kaca jendela mobilnya, dan menampilkan seorang laki laki dengan sudut bibir yang sedikit tertarik ke atas.

Ilya mengenalnya. Ya, lelaki yang berada dalam mobil berwarna hitam mengkilap itu teman Faris. Ilya juga sering bertemu dengannya di sekolah. Ia Kevin. Anak kelas XII, ntah IPA atau IPS Ilya tak mengetahuinya. Dan tak ingin tahu.

"Lo Ilya? Pacarnya Faris kan?" ujar Kevin yang sudah turun dari mobilnya dan berjalan mendekat ke arah Ilya.

Ilya hanya mengangguk sopan, sembari sedikit tersenyum.

"Boleh juga nih cewek." batin Kevin. "Kok disini? Gak ngeliat Faris tanding basket?"

"Gue dari tadi merhatiin elo. Lo darimana? Kok kayak capek banget?" Kevin bertanya lagi saat melihat Ilya tak menunjukkan gelagat akan menjawab pertanyaannya.

"Dih, kepo banget sih ni orang. Mana sok tau lagi." batin Ilya kesal.

"Gue juga mau ke sekolah. Mau bareng?" tawar Kevin.

Ilya mengangguk. "Iya."

Mata Ilya membulat sempurna. Ia tak habis pikir dengan kerja otaknya. Apa otaknya sedang rusak? Ia sama sekali tidak ingin pergi dengan Kevin. Dan mulutnya, kenapa juga harus bilang 'iya'?

"Anjirr. Ini mulut gue kok ngomong sendiri sih?! Kepala gue juga kenapa mangut mangut aja?!" Batin Ilya kesal. "Jangan jangan pake pelet kali ya?" batin Ilya menerka nerka.

Dan berkat kebodohan mulutnya yang berbicara tanpa berfikir terlebih dahulu, ia sekarang tengah duduk di dalam mobil milik Kevin.

***

ILYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang