Pelakor

21.4K 838 7
                                    

Faris pulang ke rumah masih dengan hujan yang setia menemaninya, ia menemukan mobil Fortuner di halaman rumahnya.

Faris mendengus, sembari berfikir apa yang membuat sebuah mobil Fortuner milik Rafael terparkir rapi di halaman rumahnya. Malas untuk menguras banyak fikiran untuk memikirkan hal tak berguna, Faris memutuskan untuk masuk.

"Faris." suara berat namun tegas menghadang Faris saat ia baru menginjak anak tangga pertama hendak menuju ke kamarnya. Berniat mengabaikan kedua orang yang tengah duduk menatap layar plasma berukuran 60 inci.

Faris hanya menoleh sebagai respon, malas untuk membuka suara.

"Faris, papa mau ngomong sama kamu. Kamu ke sini dulu." ujar Rafael tenang, sembari menepuk nepuk sofa disampingnya.

Faris mengembalikan kakinya ke lantai sembari mengangkat satu alisnya. "Faris capek. To the point aja."

"Faris kamu duduk dulu sini, deket papa kamu." ujar wanita yang Faris benci. Yang menyebabkan semuanya kacau seperti sekarang. Dan sialnya, wanita itu nyaris sama seperti mendiang bundanya.

Faris menatap jijik ke arah wanita bernama Sandra yang membuat rumahnya tak lagi bernyawa, yang membuat seorang wanita yang sangat Faris sayangi pergi. Pergi sangat jauh, tak dapat lagi kembali. Faris menatap hina wanita disamping Rafael, ia menatap hina Sandra dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tatapan hina tapi dapat membuat tubuh terbelah.

"Nak, sini duduk dulu. Papa mau bicara serius sekali, ini aja. Sini duduk dulu." ujar Rafael kembali menepuk nepuk kembali sofa.

'Nak'. Satu kata yang digunakan Rafael mampu membuat Faris merasakan dadanya tersambar petir. Ada setitik rindu yang terobati, ada secercah rasa senang saat mendengarnya, namun ada segunung rasa sakit yang menguap, ada kemarahan sedalam samudra yang naik ke permukaan di saat yang bersamaan.

"To.the.point." ujar Faris menekankan setiap katanya. Ntah kenapa, emosinya mulai naik ke permukaan, egonya sedikit terluka.

"Faris kamu yang sopan dong, itu papa kamu loh." tegur Sandra.

Faris menoleh dengan cepat. Cukup. Emosi Faris sudah meronta, akal sehatnya mulai mundur, membiarkan emosi yang berkuasa.

"Kamu itu sekali sekali harus hormat, sopan diikiiiiit aja sama papa kamu, bisa?" Sandra kembali membuka suaranya. Berhasil memancing emosi Faris yang memang sudah mencapai ubun ubun.

Cukup. Sudah cukup main mainnya. Emosi Faris kini sudah benar benar mencapai puncaknya. "LO DIEM!!"

Baik Sandra maupun Rafael sama sama kaget mendengar bentakan Faris. Hampir saja mereka terjengkang bila tak ada sandaran dari sofa yang mereka duduki.

"Ris." Rafael mencoba menegur.

"Apa? Papa mau belain dia?! Iya pa?! Mau belain dia?!" ujar Faris tanpa sadar memanggil Rafael dengan sebutan 'papa'. Rafael yang mendengar itu merasa hatinya menghangat, sudah lama ia merindukan panggilan itu keluar dari mulut anak semata wayangnya.

"Dan lo! Lo jangan sok sok nasihatin gue!! Lo jangan sok sok ngajarin gue sopan santun! Lo sendiri aja gak tau arti sopan santun itu!" Faris mendengus. Lalu kembali melanjutkan kata katanya. "Oh gue tau. Lo sok nasihatin gue karna mau cari muka sama bokap gue kan?!" Faris berdecih. "Siapa lo ngomongin sopan santun hah? Kalo lo tau sopan santun gue gak bakal jadi begini! Keluarga gue gak bakal hancur!! Bunda..." Faris mendesah, tak menyelesaikan kata katanya. Ia mengacak rambutnya frustasi.

Kini, terdengar isakan tertahan dari Sandra. Di pipi wanita itu terdapat sungai sungai kecil tak beraturan.

"Faris tenang dulu nak." ujar Rafael tenang. Alasan Rafael tenang? Ia terlalu bahagia karna Faris memanggilnya 'papa' dan mengakuinyan sebagai ayahnya. Tak bisa dipungkiri, ia sekarang tidak bisa marah. Padahal, Faris dengan suara tingginya menekan Sandra di depannya.

ILYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang