Kebenaran

9.8K 594 72
                                    

Jika tau akan sesakit ini, tak apa jika hidup dipentas drama.

***

Rafael tersenyum kecil. Mendapati anak semata wayangnya begitu membenci keberadaan istrinya. Ibu dari anak laki laki di depannya ini.

"Iya, yang kamu bilang barusan, itu dilakuin semua sama bunda Salma ya nak. Tapi yang ngelahirin kamu itu, mama Sandra."

Hanya bermodalkan akta kelahiran, bukan berarti Faris harus percaya begitu saja kan? Maksud Faris, dia selama ini hanya mengenal Salma yang ia panggil bunda. Bukan Sandra. Bahkan, kedatangan Sandra yang tiba tiba, juga waktu yang salah membuat Faris tak bisa mempercayai begitu saja semuanya.

"Pa, Faris dari kecil dirawat sama bunda, bukan Sandra. Bunda yang ngajarin Faris apapun, bunda yang ngerawat Faris waktu Faris sakit, bunda yang tepuk tangannya paling keras pas Faris pulang sekolah bawa piala." Faris mengungkapkan semuanya. Jika boleh jujur, ia juga lelah dengan semuanya. Ntah sandiwara atau kesalahpahaman, Faris tak tahu. Yang jelas, semuanya terasa begitu berat sekarang.

"Tapi, Sandra, dia kapan datang pun Faris gak tau. Faris yang masih SMP, ngeliat papa jarang pulang kerumah. Liat bunda selalu pingsan, selalu sakit sakitan, keluar masuk rumah sakit. Dan, tiba tiba, papa dateng ke rumah sakit sama Sandra. Papa gak mikir, giaman perasaan bunda? Lagi sakit, liat suaminya bawa selingkuhan? Gak mikir, gimana perasaan Faris liat papa bawa perempuan itu? Papa egois.

"Iya, sekarang, anggap Faris udah nerima Sandra. Nerima, kalau dia emang mama kandung Faris. Tapi, sampai kapanpun, Faris gak bakal bisa maafin dia. Maafin papa. Kalian berdua gak tau, giamana sayangnya Faris sama bunda. Papa gak tau!"

Nafas Faris sedikit lebih memburu. Jantungnya memompa darah terlalu cepat. Semuanya. Semuanya yang ia pendam sendirian, perlahan ia tumpahkan. Faris terlalu lemah.

Ada setitik lega yang ia rasakan. Tapi, tetap saja, masih ada batu yang mengganjal di dalam hatinya.

Rasanya sesak. Sesak sekali, mengorek kembali luka yang bahkan belum mengering setelah bertahun tahun. Rasanya seperti sebuah luka yang ditaburi garam. Sakit.

Mengenang semuanya dalam satu waktu nyaris membuat Faris ingin memukul kepalanya kuat. Membuka lembaran lama yang telah ia simapn rapat rapat. Ahh, tak pernah benar benar rapat. Karna, lembar tersebut selalu terbuka setiap Faris menemukan kedua manusia itu tertawa.

Memiliki ingatan fotografi tak pernah seindah yang orang banyak bayangkan. Memiliki ingatan yang tak pernah lupa, walaupun kau berusaha melupakannya sekeras apapun, itu tak mudah.

Selalu terbangun ditengah mlam. Dipaksa mengingat seluruh ingatan yang ada, dalam tidurmu. Sungguh, semuanya tak pernah seindah dalam bayangan orang lain.

Jika bisa, Faris ingin menjadi orang orang yang memiliki ingatan normal. Yang kadang, dimana menyimpan hp atau kunci motor pun suka terlupa, seperti Radit dan Elang. Faris ingin sekali, melupakan semua kenangan dan kejadian masa lalunya. Tapi tak bisa.

"Sesayang apa Faris sama bunda?" tanya Rafael.

Jika Faris seorang gadis, sudah dipastikan ia akan mengeluarkan air matanya. Sudah lama sekali Rafael tak bertanya demikian. Rindu sekali ditanyai seperti ini.

Dulu, Rafael selalu menanyakan hal yang sama persis, saat Faris bilang ia menyayangi Salma. Selalu ditanya demikian. Dan Faris kecil selalu menjawab. 'Ais sayang bunda satu bumi!' polos sekali. Lalu sang ayah akan bertanya lagi, "kalau sayang ayah?" Faris selalu menjawabnya dengan riang, saat ia memegang gelas Faris akan menjawab, 'Ais sayang papa satu gelas!' begitu pun saat ia memagang benda yang lain. Lalu Rafael akan berpura pura menerkam, dan memakannya. Jika mengingat kenangan indah, Rasanya Faris ingin menjadi kecil kembali. Disayangi semua orang. Menyayangi semua orang. Dan tak mengerti permasalahan orang dewasa tentu saja.

ILYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang