Pengakuan

7.9K 476 57
                                    

"Istri bapak, sudah pergi. Kali ini sepenuhnya." kalimat itu terus berputar dalam kepala Faris. Belum lagi matanya yang menyaksikan bagaimana alat alat penunjang kehidupan dilepas satu persatu dari tubuh wanita didepannya. Membuat Faris terus mundur. Tangannya yang menggenggam kuat tangan Ilya.

Ilya menoleh, merasakan ada yang tidak beres dengan laki laki di sampinganya. Benar saja, saat ia menoleh, dada Faris turun naik dengan cepat, matanya menatap nanar ke araha jenazah Sandra, bibirnya bahkan terlihat lebih pucat dari saat mereka ditaman. Bahkan ada sedikit keringat yang membasahi keningnya. Lelaki itu juga terus mundur, sampai belakangnya membentur dinding. "Faris?"

Yang dipanggil menoleh, "Dia... Meninggal?" Faris bertanya dengan nada yang sedikit bergetar. Ntah takut atau panik, Ilya tak paham.

Ilya mengangguk perlahan. "Kamu gak papa kan?" tanyanya khawatir.

"Bukan gue yang ngebunuh. Sumpah bukan."

Ilya sampai melotot mendengarnya. Kaget. Membunuh? Apa maksudnya?

"Lo percaya sama gue kan? Bukan gue yang ngebunuh. Gue cuma meluk doang, sumpah."

"I..iya. Emang bukan kamu yang ngebunuh. Itu udah takdir. Jadi, tenang ya?"

Faria diam. Tapi nafasnya masih tak karuan. Genggamannya masih menguat pada Ilya.

"Kalian mau tunggu disini? Saya mau ngurus administrasi dulu."

"Kita tunggu diluar aja om." ucap Ilya setelah Faris tak kunjung menjawab. Yang diangguki oleh Rafael.

***

Saat di luar, ternyata sudah ada Radit dan Manda. Melihat Faris yang terlihat begitu lemas membuat raut keduanya khawatir.

Faris ikut duduk di kursi tunggu. Ilya terus mengusap lembut bahu Faris. Matanya menatap lurus kedepan, tapi terkesan kosong. Tangannya sebelah masih mengenggam tangan Ilya.

"Faris... Lo, yang sabar ya?" Manda memandang sedih pada sahabatnya. Faris hanya diam, jiwanya seperti terbang ntah kemana.

"Kalian bisa pulang duluan, saya ntar pulangnya sama Sandra, ikut ambulan." suara Rafael membelah hening anatar mereka. "Radit, kamu bisa nyetir kan?"

Radit mengangguk, "Bisa om."

Rafael mengangguk. "Kamu tolong bawa Faris pulang dulu ya." ucapnya yang diangguki Radit. Disusul berdirinya lelaki itu bersama dengan yang lainnya menyusul.

***

Saat mereka sampai di kediaman Faris, sudah banyak orang yang ternuata sudah lebih dulu datang. Faris berjalan masuk tanpa memperhatikan orang disekitarnya. Tak peduli jika bahunya menyenggol ataupun disenggol seseorang.

Ilya yang memang dari tadi sudah merasa bahwa ada yang salah dengan lelaki itu dengan cepat menyusul. Mengekor pada Faris, meminta maaf atas perbuatan Faris yang dengan seenaknya menyenggol orang lain yang menghalangi jalannya.

Ilya terus mengikuti Faris. Sampai, lelaki itu berakhir didalam kamar mandi. Faris mencuci tangannya dengan kuat, dilumurinya dengan sabun, lalu dibilas. Diulang beberapa kali, sampai yang terakhir, lelaki itu memecahkan kaca degan tangannya sembari berteriak. Ilya kaget, tentu saja. Takut juga.

Faris ini sebenarnya kenapa?

"Faris.." Ilya mendekat perlahan, melihat tangan Faris yang berdarah saking kuatnya pukulan lelaki itu.

"Bukan gue... Lo harus percaya sama gue, bukan Il, bukan..." Faris terus menggeleng, menatap Ilya dengan cemas. "Gue gak ngebunuh dia, enggak Il."

ILYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang