Faris

7.8K 474 76
                                    

Saat dipemakaman, Faris hanya mematung. Memperhatikan bagaimana orang orang memasukkan Sandra ke peristirahatan terakhirnya. Tadinya, ia diajak untuk menidurkan wanita itu ditempat peristirahatan terakhirnya, tapi Faris menolak. Ia merasa tak pantas.

Faris benar benar memperhatikan dengan seksama setiap prosesnya. Merekamnya dengan apik, dan menyimpannya di memori dengan sangat rapi. Sampai tembakan tanah terakhir yang menutupi seluruh tubuh Sandra sekaligus menjadikan gundukan tanahnya lebih sempurna. Faris mengalihkan pandangannya sebentar, diseberan sana, makam Salma. Tapi ia tak dapat melihat dengan leluasa, karna orang orang yang mengelilingi makam yang masih baru ini.

Lalu mengalihkan kembali fokusnya pada tumpukan tanah didepannya. Rasanya berbeda.

Saat kematian Salma dulu, Faris menangis sangat kencang. Tak ingin ditinggal pergi. Bahkan, saat semua orang sudah pergi, Faris yang hanya ditemani Elang nekat menggali kembali kuburan sang bunda. Tapi beruntung, Elang berhasil menggagalkannya. Ya, walaupun tanahnya bertebaran, tak lagi sesempurna seperti awal.

Tapi ini, Faris bahkan tak menangis sama sekali. Bukan tak mau, tapi memang tidak bisa. Tak merasakan sedih yang mendalam. Tapi sakit yang luar biasa di hatinya tak bisa terelakkan. Sakit sekali. Ntah apa yang menjadi alasan sakit hati Faris, ia sendiri pun bertanya tanya.

Lamunannya buyar ketika Rafael menyenggol kecil tangan Faris. Menyuruh ia untuk segera menabur bunga. Faris mengangguk singkat, lalu mulai menabur bunga di makam Sandra. Rasa asing langsung menyergapnya begitu saja.

Karna selama ini, ia tak pernah melakukannya untuk orang lain, selain Salma. Tapi hari ini, ia melakukannya. Rasanya hambar. Seperti, menabur bunga pada tumpukan tanah tanpa ada seseorang didalam tanah tersebut.

Setelah acara pemakaman berakhir, semua orang mulai beranjak pergi satu per satu. Meninggalkan Faris yang masih mematung ditempatnya tanpa sepatah kata pun yang lolos dari bibirnya.

"Faris? Ayo pulang." ajak Rafael. Faris menolak, lebih memilih menggeleng daripada mengeluarkan suaranya.

"Jangan lakuin hal aneh lagi." Rafael mengingatkan, yang diangguki Faris. Lalu ia berjalan meninggalkan pemakaman.

***

"Ini makam siapa?" tanya Ilya ikut bejongkok di samping makam. Meniru Faris.

Tak langsing menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya, malah mengusap nisan dengan lembut. "Bunda." jawabnya, tapi tak menoleh walau sedikit.

Ilya mengangguk. Menundukkan kepalanya, sekedar berdoa. Namun, setelah Ilya selesai dengan doa nya, pemandangan yang ia saksikan ialah Faris yang menangis. Menangis secara diam, tapi tubuhnya yang bergetar hebat.

Dengan ragu, Ilya menyentuh punggung Faris. Diusapnya pelan, tak berniat menghentikan tangisan lelaki itu. Terus mengusap pelan, tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Jujur, Ilya baru pertama kali melihat Faris menangis. Seperti ini. Tak pernah terlintas di benaknya, bahwa lelaki yang nakal nya minta ampun bisa nangis seperti anak kecil di depan makam orang yang disayanginya.

"Bun... Kenapa gini?" suara Faris terdengar begitu sumbang. Terpotong potong, karna terisak. "Bunda kenapa nyuruh Faris meluk mama, kalo tau mama bakal ninggalin Faris juga?" dasar Faris tidak tahu diri! Masih bisa marah marah dengan air mata yang masih terjun bebas dari kelopak matanya, dan bicaranya yang tidak jelas karna terisak.

"Faris sendiri sekarang. Bunda gak kasian? Balikin mama, bisa?" lelaki itu terus meracau pada nisan yang daritadi ia usap. Lalu kembali menangis.

Sehancur apa sebenarnya lelaki ini? Fikir Ilya. Mendengar tangisan Faris saja membuat hati Ilya ikut merasa perih. "Faris... Belum mau pulang?" tanya Ilya saat tangisan Faris sedikit mereda.

ILYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang