Debuman keras dihasilkan dari benturan kursi yang menempuh dinding membuat murid yang berada di kelas terkejut. Mata Faris yang memerah, tatapannya yang tajam menusuk pada mangsanya.
Tubuh Adel bergetar hebat dalam dekapan Mira. Sebaliknya, Mora mendekap sahabatnya itu dengan erat. Berusaha menyingkirkan ketakutan Adel. "Tenang, tenang ya... Ada gue disini." ucap Mira lembut, berudaha menenangkan sahabatnya.
"Faris! Mau ngerusak fasilitas sekolah kamu?!" bentak seorang guru laki laki dengan kumisnya yang melintang. "Kamu ikut saya ke ruang kepala sekolah sekarang! Sama kamu juga ikut!" ia menarik kerah baju Faris. Adel yang ditunjuk masih bergetar. Dan dengan segera, Mira melepas dekapannya sesaat setelah ia sadar.
Adel total terkejut. Mira benar benar melepaskan pelukannya dengan sedikit kasar. Memandangnya dengan tatapan asing. Benar benar, apa harus sesakit ini rasanya?
Tadi, dengan sangat jelas Adel mendengarkan ucapan lirih sahabatnya. Didekap Mira dengan rasa yang benar benar nyaman. Adel merasa aman. Namun, tak sampai lima menit. Kenapa rasanya berubah? Dari manis, kenapa ia harus merasakan pahit, dan asam bersamaan?
Berjalan, mengekor pada Faris yang sudah di depan, masih dengan kerahnya yang ditarik. Adel menghapus cepat air matanya, dengan tangan yang masih bergetar.
***
Ketukan pada pintu kaca membuat Rafael mengalihkan pandangannya dari tumpukan kertas kertas didepannya. Mempersilahkan masuk pada seorang guru yang menyeret anaknya beserta satu orang gadis yang ntah kelas berapa. Rafael tak begitu mengenalnya.
"Duduk dulu pak. Kenapa ini?" ada yang tidak beres. Rafael tau. Terlihat jelas dari air muka Faris. Juga tatapan laki laki itu.
"Ini loh, si Faris, udah kelas 12 malah bikin ulah makin makin aja. Ini, dia melempar kursi ke Adelia ini loh. Untung aja nih, diselamatin ini si Adelia. Kalau engga, gak tau saya."
Faris berdecak, terdengar muak. "Gak kena juga kan? Gak usah dibesar besarin."
"Faris." Rafael menegur. Walaupun keduanya sudah berbaikan, tapu tetap saja, Rafael wajib menegur anaknya jika memang salah. Nada bicara Faris benar benar tak bisa dibilang sopan.
Faris menghela napasnya. Lelaki itu benar benar tak menyembunyikan tatapan bencinya pada Adel. Terus menerus menghunus ke gadis yang hanya tertunduk di depannya. Ingin rasanya Faris menendang kepalanya sampai pecah. Emosinya sedikit ia salurkan dengan genggaman kosong yang semakin kuat tiap menitnya. Menghasilkan tangannya yang mungkin kini mengeluarkan darah karna terhunus oleh kuku. Luka atau tidak, Faris tak peduli.
"Nama kamu siapa? Adelia?" tanya Rafael. Yang ditanya hanya mengangguk. Suaranya banyak tertelan di kerongkongan. Efek terlalu takut sepertinya.
"Itu loh, sampai ketakutan gitu anak orang. Kamu gak mikir dia perempuan Faris? Coba tadi, kalau kena. Bagaimana? Bisa berdarah kepalanya. Atau bisa aja sampai masuk rumah sakit. Mau kamu tanggung jawab? Kamu ini-"
"Bapak khawatirin dia yang bahkan ga kenapa kenapa. Apa kabar saya? Dia nabrak sahabat saya. Elang. Sekaligus, pacar saya ditabrak juga. Ya, untung aja enggak meninggal juga. Tapi sempat koma." Faris menatap guru disebelahnya. "Bapak kira saya bakal asal ngelempar bangku ke orang? Saya gak bodoh."
Wajah didepannya terlihat terlejut, tapi berusaha mengontrol agar tak terlalu terlihat. "Atas dasar apa kamu menuduh Adelia ini jadi penyebab kecelakaan yang bikin Elang meninggal? Ada kamu punya bukti?"

KAMU SEDANG MEMBACA
ILYA
Ficção Adolescente"I Love You Always. ILYA." Ilya Kinansya Putri. Seorang gadis cantik yang ceria, dan keras kepala. Selalu mendapat rangking 3 besar paralel. Ilya punya 2 sahabat yang selalu bersamanya. Dunia Ilya hanya tentang dirinya, keluarga, dan sahabat. Hidup...