Faris membuka matanya pelan. Terlampau berat. Tubuhnya terasa begitu nyeri. Kepalanya juga terasa berputar putar. Pusing sekali.
Mendapati Ilya yang menopang wajahnya dengan tang kiri, mata gadis itu menatap lurus ke depan. Tapi kosong. Faris dapat melihat dengan jelas, air mata gadisnya turun, membasahi pipinya dengan sempurna. Namun, lekas dihapus begitu saja. Seakan tak ingin meninggalkan jejak.
Faris benar benar memandangi Ilya. Tanpa melakukan pergerakan apapun. Dan semakin lama ia memandangi sang gadis, semakin besar pula rasa bersalahnya. Pasalnya, Ilya selalu mengeluarkan air mata, namun cepat cepat di hapus.
"Hey... Kenapa nangis hmm?" suara Faris terdengar begitu serak. Akhirnya memutuskan mengalah. Mana tahan ia harus memandangi kesayangannya menangis. Berlagak sok kuat. Seperti bercermin. Faris tau bagaimana rasanya. Ingin menangis, tapi harus terlihat yang paling kuat, yang paling tegar.
Ilya menoleh, mendapati Faris menatapnya sayu. Ingin memaki saja. Melihat Faris terlihat begitu mengenaskan. Benar benar seperti mayat hidup.
Mata Ilya yang kelewat merah, juga air yang menggenang di pelupuk gadis itu, hanya tinggal mengedip, maka semuanya akan tumpah. Ingin sekali memeluk, membisikan kalimat menenangkan. Mengusap rambut sebahu itu, menenggelamkan wajah gadisnya dalam peluk. Membiarkan ia menangis sampai mata membengkak.
Tangan Faris yang panas mengenggam tangan Ilya yang kelewat dingin. Suhu normal sebenarnya, tapi karna demam Faris, rasanya dingin sekali. Mengusapnya penuh kelembutan. Kentara sekali kalau ia menyayangi gadis itu. Sangat.
"Kamu kenapa?""Harusnya aku yang nanya gitu, Faris..."
"Yaudah ulang. Kamu nanya aku, nanti aku jawab."
"Kamu kenapa?" tanya Ilya.
"Aku demam." jawabnya. "Kamu kenapa?"
"Aku nangis." balas Ilya.
Sumpah, demi dirinya, dan demi seluruh alam semsesta, Ilya begitu menggemaskan. Matanya yang masih memerah, bibirnya sedikit termaju. Menatap Faris dengan begitu khawatir.
"Aku gigit ya? Gemes banget."
Tak menanggapi candaan Faris. Ilya malah menunduk, memfokuskan dirinya, memainkan jari jari panjang Faris. "Kamu kok gak bilang ke aku?" tanya Ilya tiba tiba.
"Bilang apa sayang?"
"Kak Elang." Ilya mengangkat kepalanya. Memandangi Faris dengan pelupuk matanya yang menampung air mata semakin banyak.
"Elang harus istirahat. Kangen ya? Besok, aku udah sembuh. Kita ke rumah Elang. Mau?" Faris berusaha terlihat tenang dengan memperlihatkan senyum di wajah pucatnya.
"Kenapa harus bohong?" faktanya, sekuat apapun Ilya menahan tangisnya. Ia akan gagal juga. Hatinya sakit. Kehilangan sosok seperti Elang sudah hampir kehilangan setengah dari dirinya. Dan lagi, Faris menyembunyikannya dari Ilya. Semua orang. Semua orang mengatakan kebohongan padanya. Terus menerus mengulur waktu, menumpuk harapan untuk bertemu setiap harinya. Tapi apa? Hatinya sakit sekali.
"Kenapa harus bohong Faris?? Kenapa harus disembunyiin? Kenapaa?" Ilya sudah benar benar menangis. Bahunya naik turun dengan cepat. Bergetar bukan main. Menyembunyikan wajahnya dengan menunduk di bangkar Faris. Sakit bukan main.
"Siapa yang ngasih tau kamu? Hmm?" Faris bertanya. Mengelus lembut rambut gadisnya. Berharap itu akan menenangkan.
"Aku tanya, kenala kamu bohong!!" nada suara Ilya sudah naik setengah oktaf. Air matanya sudah benar benar membasahi seluruh muka Ilya. "Sakit Faris sakit," Ilya memukul mukul dadanya kuat. Berusaha mengalihkan sakit hatinya. "Kamu tau, aku sayang sama kak Elang.." sekarang, nada suaranya terdengar lemah. Rapuh sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
ILYA
Novela Juvenil"I Love You Always. ILYA." Ilya Kinansya Putri. Seorang gadis cantik yang ceria, dan keras kepala. Selalu mendapat rangking 3 besar paralel. Ilya punya 2 sahabat yang selalu bersamanya. Dunia Ilya hanya tentang dirinya, keluarga, dan sahabat. Hidup...