Miss Call

23.8K 917 3
                                    

Elang dan Radit sangat gesit melompati pagar pembatas yang tingginya kurang dari 2 meter.  Mereka sudah terbiasa akan hal itu, tidak merasa kesulitan sedikit pun.

BRUKK!

Mereka mendarat mulus secara bersamaan. "Lang, kita keluar lewat pagar gini, terus motor lo gimana?"

"Ya kayak biasa lah." jawab Elang sembari membenarkan letak tasnya yang sedikit melorot.

"Biasa kan ada Faris, kita enak ngibulin si botak. Lah ini?" Radit dan teman temannya memang lebih sering memanggil pak Joko dengan si botak. Pasalnya, satpam sekolah yang satu itu, tidak memiliki satu helai rambut pun semenjak mereka masuk ke SMA Kencana.

"Ya kita balik lagi kesini pas jam pulang, terus ngambil motor. Bego banget lo, gitu aja gak tau."

"Tumben otak lo encer. Tapi gimana kita mau pulang kalo gak ada kendaraan?"

"Lo hidup di jaman apa sih Dit? Sekarang udah banyak taksi, ojek, bis,  becak, apapun udah ada. Yang online juga banyak." ucap Elang sedikit kesal, tak mengerti apa fungsi otak yang terdapat dalam kepala Radit.

"Tapi lo yang bayar yaa."

"Kita beda arah."

"Emang lo mau kemana?"

"Diem atau gak gue bayarin ongkos?" ancam Elang.

"Iya gue diem iya." ujar Radit menampakkan muka kesal sekaligus senang. Senang karna tidak perlu mengurangi uang jajannya untuk membayar taksi.

Elang mengeluarkan uang 50 ribuan dari sakunya, lalu memberikannya pada Radit.

"Kok goceng? Gue mau makan nanti gimana?" ujar Radit menerima uang biru dari Elang.

"Berhenti ngebacot atau gue bacok?"

"Lo pms? Kok galak amat sih?" tanya Radit heran, kenapa sahabatnya yang satu ini mendadak jadi pemarah.

Elang tak menanggapi ucapan Elang, ia menyetop taksi yang lewat di depan mereka. Lalu masuk dan menampakkan jari telunjuknya ke arah Radit. Lalu ditutupnya pintu taksi.

"Guguk emang punya temen gak ada yang bener." guman Radit terus berjalan menuju halte. Ia akan naik bis, dengan alasan bayarannya lebih murah. Dan sisanya akan ia simpan dalam dompet.

***

Elang berhenti di sebuah rumah yang halamannya tidak begitu luas, tapi juga tidak terlalu kecil. Di halaman terdapat banyak bunga berwarna warni yang tumbuh, terlihat sangat terawat. Cukup mencerminkan karakter sang pemilik.

Pagarnya yang tidak tingi terlihat terbuka, ia memberanikan untuk masuk ke dalam.

Elang menekan bel yang terdapat di dekat pintu masuk. Tak lama, keluar seorang wanita paruh baya. Terlihat ada beberapa garis halus yang menandakan wanita itu sudah cukup lama mengarungi dunia.

Elang menyalami punggung tangan yang menggantung di udara. Terlihat dari wajahnya, jelas wanita itu heran.

"Hmm, saya Elang tante. Temannya Ilya." ucap Elang memperkenalkan diri.

"Oh temen Ilya, kok tante gak pernah liat?"

"Iya, saya juga baru pertama kali kesini." ucap Elang mengulas senyum.

"Yaudah, ayo masuk." ujar Dina mempersilahkan Elang untuk masuk.

Setelah Elang masuk dan duduk, Dina permisi untuk membangunkan anak gadisnya.

Tak menunggu cukup lama, Dina kembali menghampiri Elang. Hanya sendiri, tanpa Ilya.

"Nak Elang, langsung naik aja. Ilya nya masih tidur. Tapi pintunya tetap di buka ya." ujar Dina.

"Hmm saya pulang aja deh tante, gak enak juga. Ilya nya masih tidur." ucap Elang sembari berdiri.

"Gak papa, naik aja langsung. Tante mau keluar sebentar."

"Iya tante." ujar Elang berjalan ke arah tangga, setelah Dina pergi.

***

Tok.. Tok.. Tok..

Elang mengetuk pintu kamar Ilya. Dia sempat binggung dimana kamar Ilya, tapi ketika melihat pintu ber cat pink ia langsung menebak itu adalah kamar milik gadis yang belakangan ini sedang dekat dengan sahabatnya.

Dan ya, tebakan nya benar. Ilya keluar dengan wajah kesalnya. Namun hanya berapa detik, air mukanya berubah saat menemukan Elang.

Elang terkekeh melihat ekspresi yang di tampilkan Ilya padanya. "Kok kaget gitu?"

Ilya mundur beberapa langkah, mencipatakan jarak antara mereka. "Kak Elang? Ngapain kesini?" tanya Ilya sedikit gugup.

"Masuk dulu." ujar Elang mendorong pelan tubuh Ilya. "tiduran." titah Elang.

Ilya hanya duduk di tepi ranjangnya. "Kakak disuruh Faris?" ucap Ilya menatap penuh selidik lelaki yang tengah memperlihatkan senyumnya.

Elang menggeleng, "Lo tenang aja, ini gak ada hubungannya sama Faris." ujar Elang mendaratkan bokongnya ke bangku belajar milik Ilya.

"So? Kesini ngapain?"

"Ya jenguk elo lah."

"Gue gak sakit, pasti disuruh Faris kan?"

Elang terkekeh. "Gak percayaan amat, Gue kesini juga mau nanyain Faris sama elo. Faris sampe sekarang gak ada kabar sama sekali."

"Bohongnya gak berbakat banget." cibir Ilya. "Orang kemaren dia ada kok."

"Lo ketemu sama dia?"

"Iya, kemaren dia jemput gue. Terus dia juga nraktir gue." Jelas Ilya.

"Serius?"

"Dua rius." seru Ilya mengangkat telunjuk dan tengahnya sejajar.

Elang terkekeh. "Gue pulang dulu, ada urusan bentar." ucap Elang beranjak lalu mengacak puncak kepala Ilya.

Ilya pun tak mengerti, ada apa dengan dirinya
Saat Faris mengacak rambutnya, ia akan marah besar pada Faris, tetapi saat Elang yang melakukannya, Ilya tidak merasa terganggu sedikit pun.

***

Faris mengangkat kedua tangannya, meregangkan otot ototnya. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 09:35 WIB. Ia beranjak dari ranjangnya, lalu ke kamar mandi.

Setelah membersihkan badannya, ia mengambil ponselnya. Alisnya terangkat, ada 58 missed cal dari nomor yang tidak dikenal.

"Siapa?" gumamnya. "Yang tau nomor gue cuma orang deket."

Atas nama penasaran, ia mencoba menghubungi nomor yang telah menghubunginya sebanyak 58 kali.

Saat telpon diangkat, Faris hanya diam, begitu juga yang di telpon.

Faris tidak mematikan telponnya, ia masih menempelkan ponselnya ke telinga. Setelah 15 menit, terdengar helaan napas berat dari seberang telpon.

Faris yang mendengar itu langsung menutup telponnya. Ia mengusap kasar wajah nya. Tangannya yang bebas mencengkram kuat.

"Anjing!" umpatnya.

Ia kembali mengacak kasar rambut bagian belakangnya, memejamkan matanya dan menengadah ke langit langit kamarnya.

Jangan lupa vote and comment😄

Typo bertebaran:v

ILYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang