"Shit!" gumam Viko sambil meremas surat tersebut. Satu air mata lolos keluar dari pelupuk mata nya. Untuk yang pertama kali nya, Viko menangis hanya karena masalah cinta. Selama Viko pacaran sama cewek lain, tidak pernah dia merasakan sakit hati. Dan Luna sukses membuat hati Viko jadi sakit, sampai menangis.
Wow cowo yang terkenal bad ternyata bisa menangis.
Viko melempar surat itu. Tidak tahan melihat isi surat itu. Yang ada dada nya semakin sesak. Atau mungkin hampir meledak.
Setelah itu Ferdo masuk ke dalam kamar Viko. Raut wajahnya kaget melihat kamar Viko jadi berantakan. Padahal ini kamar inap, bukan kamar pribadinya.
"Luna tadi kesini?" tanya Viko cuek.
"Kalau iya, kenapa? kalau gak kenapa?
"Gue tanya brengsek apa susahnya jawab itu doang?" pekik Viko.
Ferdo membuang nafas, dan menganggukkan kepala.
"Dia bilang sama gue, lebih baik lo gausah kejar dia lagi. Lagian gada gunanya." lirih Ferdo.
"Gada gunanya? dia berarti bagi gue, dan lo bilang gaperlu kejar dia lagi? biar lo bebas gitu sama dia hah?" sinis Viko.
"Mending lo gausah kejar dia lagi, karena lo bakalan gabisa ketemu dia untuk selamanya."
"Maksud lo?"
"Ortu lo urus surat pindah sekolah dan lo pindah ke London."
***
"Darimana saja lo?"
Luna langsung membalikkan badan dan melihat Jerry, abangnya yang menatapnya tajam.
"Emang kenapa?" Luna balik nanya tanpa melihat Jerry.
"Cihh.. masih kunjungi mantan ya?"
Luna menegang saat mendengar perkataan Jerry.
Apa kakak tahu kalau gue ketemu mantan? semoga aja tidak.
"Lu pikir gue gatau, gue it-" ucapan Jerry terpotong saat mendengar suara mom nya yang semakin terdengar jelas.
"Jerry, Luna ayo makan." ajak mom tanpa melihat Luna.
Luna tersenyum miris. Melihat mom nya hanya menarik tangan abangnya, Jerry. Bahkan mom nya pun enggan menatap Luna. Seakan-akan Luna berupa objek yang gak layak untuk dipandang. Dan Luna hanya bisa nguatin diri sendiri. Tidak ada satupun yang bisa nguatin dia, selain dirinya sendiri.
Luna menuju ruang makan. Disana sudah tersedia berbagai macam makanan. Padahal tidak ada tamu yang berkunjung.
Luna menarik satu kursi, lalu duduk tepat di depan mom nya. Dia merasa heran. Jarang sekali ia diajak makan bersama keluarga nya. Biasa nya dia diajak kalau ada keluarga nesar datang berkunjung, atau ada sesuatu yang ingin disampaikan. Tiba-tiba firasat nya tidak enak. Tapi Luna mengenyahkan pikiran buruk itu. Berusaha berfikir positif.
Suasana makan malam hening. Hanya suara dentingan sendok dan piring. Tidak ada yang berani berbicara.
Setelah makan, para pembantu langsung mengangkut semua makanan dan piring gelas kotor ke dapur. Lalu semua keluarga Luna pindah ke ruang keluarga.
"Besok kami akan pergi ke Bali. Dan kamu, tinggal disini."
Ucapan dad seperti pisau yang menyayat hati Luna. Lagi dan lagi, dia tidak diajak ke luar kota. Padahal Luna ingin sekali ikut. Merasakan liburan bersama keluarga inti.
Luna menatap ke arah mom nya. Berharap mom nya membujuk dad buat ngajak Luna. Tapi, mom malah mengalihkan tatapannya.
"Jangan sampai barang-barang branded gue rusak ya, apalagi hilang. Lo yang gue salahin." perintah Merry. Sudut bibirnya terangkat, menatap sinis ke arah Luna. Dan abangnya, Jerry hanya menatapnya. Seolah-olah tidak penting untuk dibela.
Luna mengabaikan perintah saudaranya. Dan lagian, siapa juga yang berniat menyentuh barangnya?
Dad langsung pergi. Disusul mom dan saudaranya. Tinggal Luna sendiri di ruangan itu. Hatinya terasa pedih. Ingin rasanya dia berbicara, memohon, kalau perlu bersujud di hadapan mom dan dad nya agar mereka berubah pikiran. Tapi apa mungkin mereka akan berubah?
Sebenci itukah dad kepada gue, sampai dad tidak ingin gue ikut pergi ke Bali?
Luna menghapus air matanya, dan bersikap tegar.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA. JANGAN LUPA VOTE SAIANG) Bukan anak broken home. Punya keluarga, serasa gak punya keluarga. Keluarga utuh, tapi kurang kasih sayang. Semenyedihkan ini gue sekarang. Dan itu yang buat gue mati rasa. Maaf, bukannya gue kurang...