Sejak pulang mengantar Luna sampai sekarang membuat Ferdo senyum-senyum tidak jelas seperti orang gila. Sederhana namun membuat dia merasa bahagia.
Tidak tau kenapa, mengingat sikap Luna tadi membuat Ferdo merasa nyaman. Walau sikap Luna lebih dominan ke cowo dibanding cewe, namun dimata Ferdo itu yang membuat Luna berbeda dari cwe lain.
Ciri khas nya Luna yang membuat Ferdo merasa senang jika dekat dengan Luna.Apa mungkin Ferdo mulai ada rasa sama Luna?
"Hey bang, kalau masuk itu ngucap salam." ucap sang bunda, melihat anaknya sudah datang.
Ferdo lalu begitu saja tanpa mendengarkan ucapan dari sang bunda.
"Bun, itu bang Ferdo kenapa ketawa sendiri? Kayak orang kesurupan." Kila, adek Ferdo bingung saat melihat abangnya ketawa sendiri, sampai hampir nambrak pintu.
"Hus. Omonganmu nak. Tidak baik. Bunda juga heran. Tadi bunda bicara bukannya dibalas, ngelirik bunda pun tidak."
"Lagi berbunga-bunga kali hati abang bun, biasa, jatuh cinta."
"Emang adek mau abangmu pacaran? Dulu aja pas abangmu pacaran, adek ngambek kan? Sampai suruh abang putus sama pacarnya?"
Killa mendengus, mendengar sang bunda membahas masalalu. "Lagian pacarnya jahat. Sok cantik lagi. Banyak bohong. Waktu itu udah beberapa kali kk itu janji ajak jalan, tau-taunya ingkar. Alasannya sibuklah, inilah itulah, hoax."
Killa memutuskan pergi darioada sang bunda membahas mantan abangnya itu.
Ngapain coba bunda ungkit nama manusia itu.
***
Pintu kamar terbuka. Akhirnya sang pemilik kamar datang. Dengan senyum lebar diwajah, membuat Viko bergidik ngeri melihatnya.
Viko ambil satu bantal, lalu melemparkannya tepat di wajah Ferdo. "Woy bocah."
"Bangsat." ucap Ferdo kaget. Mengusap wajahnya yang terasa berdenyut akibat lemparan bantal.
Ferdo mengambil bantal itu, lalu melihta siapa orang yang sengaja melempar bantal ini.
"Ngapain lo dikamar gue?" ujarnya kesal, ternyata sodara biadabnya, Viko , yang melakukannya.
"Ahaha sorry brader, abis lo kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet lo?"
"Mulut lo itu kesambet. Serah gue. Mulut gue, idup gue, mau gue senyum kek, salto kek, gak ada urusannya sama lo."
Daripada ladeni sodara biadab nya, mending langsung mandi. Menyegarkan tubuh dan pikiran yang yang terus memikirkan Luna.
"Yee dasar pantat panci, gue mau ngobrol malah ditinggal." gerutu Viko melihat sodaranya yang memilih untuk mandi daripada berbincang sebentar dengannya.
15 menit kemudian, Ferdo keluar dari kamar mandi, menggunakan baju warna hitam polos dengan celana jenas pendek selutut. Rambut dibiarkan basah membuat Ferdo semakin seksi.
"Kalau gue jadi cewe, gue pasti jatuh cinta sama lo bro."
Ferdo mendengus kesal. "Kalau lo jadi cewe, gue ogah pacaran sama lo."
"Sialan."
Ferdo meringis lihat kamarnya yang berantakan. Sebelum oergi dia sudah merapikan kamarnya, sampai dirumah kamarnya berantakan karena sodara biadab nya. "Lo kapan kesini? Kamar gue sampe ancur gini. Tau gini lo datang gue kunci kamar gue biar gak kayak kapal pecah."
"Ahaha gini doang lo marah etdah. Gue kesini mau minta tolong ke lo." Viko mengeluarkan laptopnya. Menyalakan laptopnya lalu membuka portal pendafataran mahasiswa baru UB.
"Minta tolong apaan?" Ferdo berjalan ke arah Viko.
"Bantuin gue isi formulir. Gue ga ngerti. Beberapa pakai bahasa inggris jadi gue ga ngerti." keluh Viko.
"Makanya, kalau belajar itu dengerin gurunya, jangan molor mulu. Ngakunya blasteran Amerika, tapi bahasa Inggris aja gatau." cibir Ferdo.
"Sialan."
"Muka nya aja blasteran, tapi gapande bahasa inggris. Canda bahasa inggris" sindir Ferdo lagi. Ngikutin kata yang baru ngetrend belakangan ini.
"Gue emang blasteran, tapi lo tau sendiri gue lebih lama di Indo dibanding Amerika. Untung sodara."
"Sayangnya gue ogah akuin lo jadi sodara gue."
***
"Baru pulang jam segini? Dari mana aja dek?" tanya bang Dean saat Luna masuk ke rumah.
Luna kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba dari sang abang.
"Bang, kan tadi Luna udah bilang jalan sama Ferdo, pake nanya lagi."
Dean menghela nafas pelan. "Ya bang tau, cuma kalau keluar lihat jam juga. Noh lihat udah jam berapa sekarang."
Bola mata Luna membesar, melihat jam sekarang menunjukkan pukul setengah 8 malam. Luna baru ingat dia belum mengirim file pendaftaran kuliah online. Batas waktunya jam 9 malam.
Luna langsung bergegas mandi, berpakaian, lalu mengambil laptopnya. Secepat mungkin dia selesaikan pendaftaran ini. Semoga aja jaringan gak ngajak gelud diwaktu genting.
Dean masuk ke kamar, membawa nampan, sepiring nasi lengkap air putih. Dean tau, kalau Luna sudah sibuk, lupa waktu. Jadinya Dean membawakan makanannya daripada Luna makan telat.
Abang idaman banget ya.
Dean duduk di sebelah kanan Luna, meletakkan nampan tersebut di meja samping tempat tidur Luna.
"Jadi, pilih kampus mana?"
"Sampai sekarang Luna belum tau bang. Jujur, Luna ingin banget di kampus UB. Dulu, Luna berandai-andai kalau jadi mahasiswa UB seperti dapat uang banyak. Bahagia banget. Tapi semua hanya harapan, karena Luna sadar kalau Luna gak akan bisa masuk situ."
"Terus?"
"Ya, begitu. Pas tau Luna bisa masuk UB tanpa tes itu rasanya bahagia banget. Tapi.."
"Tapi apa?"
"Pas Luna jalan sama Ferdo tadi, Ferdo bilang kalau Viko masuk di kampus dan di jurusan yang sama dengan Luna."
"Katanya udah move on, tapi kenapa hanya karena sefakultas dan se kampus sama mantan gamau? Jangan karena itu impian Luna untuk jadi mahasiswa UB jadi musnah."
Dean mengambil piring dan gelas itu, lalu meletakkan ke dekat Luna. "Makan dulu gih. Sepertinya Luna kurang energi jadi gak bisa mikir."
"Makasih bang"
TBC
![](https://img.wattpad.com/cover/120013923-288-k518946.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA. JANGAN LUPA VOTE SAIANG) Bukan anak broken home. Punya keluarga, serasa gak punya keluarga. Keluarga utuh, tapi kurang kasih sayang. Semenyedihkan ini gue sekarang. Dan itu yang buat gue mati rasa. Maaf, bukannya gue kurang...