"Hufff, akhir nya istirahat juga. Cacing di perut gue demo minta diisi." Dita sambil menggandeng tangan Luna menuju kantin.
"Yaudah cuss. Btw, dimana Fitri?" tanya Luna sambil celingak-celinguk mencari Fitri.
"Noh tu anak panjang umur." Dita sambil tunjuk Fitri.
"Sorry gue telat gaess. Biasa sebelum dan sesudah pelajaran ekonomi wajib ceramah dulu."
"Yaudah kita capcuss."
***
Dari pagi sampai sekarang Luna kelihatan murung. Dita khawatir kepada Luna. Sesuatu yang membuat Luna melamun. "Eh lo kenapa?"
"Ntahla, gue bingung."
"Lah, kok bingung?"
"Gue bingung aja."
"Aneh lo."
Tiba-tiba Luna teringat dengan kejadian kemarin malam, kejadian dimana dia dicap sebagai anak pembawa sial, anak penghancur keutuhan keluarga orang lain, dicaci maki, dan dihina di depan umum.
Terpintas beberapa pertanyaan yang membuatnya bingung dan ingin mengetahui jawaban itu.
Apa hubungan nya Ferdo dan Viko? Mengapa mereka seperti ada ikatan khusus? Dan saat kedua orangtua mereka ketemu, mengapa begitu akrab? And, tunggu dulu, Bagaskoro? Nama belakang Viko dan Ferdo sama-sama Bagaskoro. Akhh gue bingung. Sangat sangat bingung.
"Hoy melamun ae lo. Ngapa sih?" kaget Dita sambil memukul pelan pundak Luna.
"Ntah lah. Makan lo. Jangan melamun ntar kesambet baru tau rasa." sambung Fitri
Tiba-tiba Ferdo datang dan menghampiri ketiga sahabat itu. "Ekhm."
"Eh lo silahkan duduk." tawar Fitri dan disetujui Ferdo
"Dia kenapa?" bisik Ferdo kepada Dita sambil menunjukkan dagu nya ke arah Luna.
"Gatau. Dari tadi melamun mulu."
Suasana hening pun datang. Tidak ada yang berani memulai percakapan. Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Mengapa jantung gue berdetak cepat disaat dekat sama Ferdo. Berbeda disaat Luna dekat sama Viko. Ada apa gerangan? Apakah ini cinta? Gak mungkin. Mungkin ini halu. Gue terlalu memikirkan sampai gue halu dan gasadar bahwa ini gakmungkin terjadi.
Atau perasaannya aja kali ya, lagian tidak mungkin dia suka sama gue. Lagian baru kenalan juga. Belum tahu seluk beluk hidup dia.
"Lun, lo sehat kan?" Dita sambil ngecek suhu badan Luna.
"Ye"
"kok malah bengong? Noh makanan lo belum selesai."
"Gue cabut dulu."
"lho kok?" Dita melihat gue pergi begitu saja pun menyusul Luna.
"Lo tau ga dia kenapa?" tanya Ferdo penasaran.
"Ga. Udah deh gue mau makan." Fitri acuh lalu melanjutkan makan.
Ferdo bingung dengan sikap Luna yang mendadak aneh. Mendadak berubah 180 derajat, berbeda dengan tadi pagi, ceria.
***
Di ruang hampa dan sunyi tanpa seseorang pun disini. Tempat yang pas buat menyendiri, meluapkan emosi, dan melampiaskan nya kepada keheningan, rooftop. Pas sama Luna yang ingin menyendiri. Memikirkan kejadian kemarin, dan mencari jawaban atas kebingungan ini. Dunia berasa seperti teka-teki. Sulit untuk di pecahkan.
Sekarang ,di kesunyian, dimana tidak ada sedikitpun orang mengganggu privasi Luna.
Kapan Luna bisa bahagia Tuhan? Mengapa disaat orang itu pergi meninggalkan ku malah kembali lagi? Dan, mengapa Tuhan menghadapkan gue pada dua cowo yang memperebutkan gue? Batin Luna
Di tempat sunyi ini, tempat yang pas untuk dijadikan tempat menyendiri. Luna tidak tahu lagi selain menangis. Sakit, sangat sakit rasanya. Luna tidak tahu harus menceritakan kepada orang lain. Dita? Fitri? Ga. Tidak mungkin Luna ceritain ke mereka lagi. Sudah cukup mereka membantu aku. Haruskah Luna pendam semuanya? haruskah?
Mengapa hidup gue serumit ini? Banyak penuh teka-teki yang tidak kuketahui. Banyak pertanyaan yang membuat gue bingung. Kapan hidup gue bahagia? kapan? tanpa ada masalah dan teka-teki yang membingungkan.
"Akhhhh gue benci diri gue. Gue benciii. Tuhann bawa gue pergi, gue gakuat lagi Tuhan." teriak Luna sambil menarik rambut nya.
"Luna!" Dita sambil berlari menuju Luna.
Dita menarik tubuh Luna dan memeluk erat. Sangat erat. Pelukan kasih sayang. Pelukan yang membuat Luna merasa nyaman di dekapan Dita.
Jangan tanya dari mana Dita tau Luna disini.
"Lo kenapa sii? kalau ada masalah ceritain, jangan dipendam." cemas Dita.
Luna mengabaikan pertanyaan dari Dita. Saat ini dia hanya ingin menangis.
"Woy lo punya mulut kan? jawab! tidak da gunanya lo pendam sendiri Lun, yang ada lo sakit. Apa gunanya gue dan Fitri, kami sahabat lo namun lo gamau cerita ke kami. Apa gunanya kami dalam hidup lo Lun, apaa?" Dita sambil mengguncangkan tubuh Luna.
"Gatau gue harus bilang apa Dit, maaf, sepertinya ini privasi."
"Lo sekarang sudah berani main privasi sekarang ya? otomatis lo gak anggap gue sebagai sahabat lo? Gitu?"
"Bukan gitu Dit, tap-"
Dita langsung memeluk Luna. Jujur, Luna bingung harus cerita atau tidak. Terkadang menyembunyikan masalah aku rapat-rapat, namun sekuat-kuatnya Luna menyembunyikan masalah ini, semakin sakit rasanya.
"Yaudah kalau lo belum siap cerita, gue siap nunggu lo. Tapi satu hal yang harus lo tahu, gak usah lo bersikap sok tegar di hadapan gue kalau nyatanya lo rapuh. Gue tahu lo sok tegar agar lo terlihat kuat. Gue sahabat lo. Gue kenal lo dan seluruh cerita kehidupan lo gue udah tahu. Gue sahabat lo, Fitri juga. Kami gak akan tinggalkan lo dalam susah begini. Jika menurut lo, kami bakalan terbebani dengan masalah lo, itu salah besar. Inilah sahabat, ada di masa suka ataupun duka. Ok?" Dita sambil menghapus air mata di pipi Luna.
Luna beruntung banget dapat sahabat seperti mereka. Sungguh, terimakasih Tuhan. Ternyata Engkau masih memberikan sahabat yang begitu peduli sama Luna disaat keluarga sendiri pun mengabaikan Luna. Terimakasih.
"Makasih banyak Dit, gue beruntung dapat sahabat kayak lo sama Fitri. Gue janji kok bakalan ceritain semuanya ke lo dan Fitri."
"Yaudah, jangan mewek lagi ya, ntar gue dikira bikin anak orang mewek. Hapus air mata lo itu. Kita ke kelas."
"Eh kampret, kita udah telat setengah jam. Mau ngapain lagi ke kelas? Mau di hukum gantung lo sama guru killer?"
"Hahaha, baru sadar gue. Yaudah kita disini aja. Tunggu sampai bel pulang baru kita ke kelas."
TBC
wkwkwk hobah gaess, sorry gue jarang update, nih gue sempatin deh biar kangen sama Luna terobati wkwkw
part ini agak gaje kali ye, maapkeun
Don't forget Voment guys 😊
~Echa
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA. JANGAN LUPA VOTE SAIANG) Bukan anak broken home. Punya keluarga, serasa gak punya keluarga. Keluarga utuh, tapi kurang kasih sayang. Semenyedihkan ini gue sekarang. Dan itu yang buat gue mati rasa. Maaf, bukannya gue kurang...