23

10.8K 503 9
                                    

"Udah yuk, gue anter ajaa!" paksa Kavi saat Arin kekeh ingin pulang sendiri.

Arin tetap menggeleng, membuat Kavi memutar bola matanya. Bela sudah pulang sedari tadi masih dengan kekasihnya sisa lah Kavi dan Arin yang masih berada di sekolah.

"Lo belum pulang?" tanya Radya saat melihat Arin berjalan di depannya.

Arin menggeleng lalu menatap malu Bian yang tentu tak perduli, dan tersenyum pada Artha yang menatapnya datar namun tajam.

Radya tersenyum miring lalu menarik tangan Arin mendekat, "yaudah lo dianter Bian aja."

Mendengar itu Bian mendelik,

"Gak, gak! enak aja lo nyuruh nyuruh emang dia siapa gue?!."

Arin berusaha mempertahankan senyumnya mendengar kata kata Bian yang menamparnya, Kavi menatap kasian pada Arin yang hanya menunduk lalu pamit untuk pulang.

"Ehh Arin gue duluan ya, mari kak."

"Hati hati Kavi."

"Udah anterin Al, gue sama Artha aja." ujar Radya memaksa.

"Dia abis di bully kasihan, gue juga mau ke tempat mama." sambungnya.

Bian menatap sebal Arin, lalu melangkah menuju mobilnya dengan terpaksa mana bisa di menolak perintah Radya. Radya tersenyum kemenangan lalu menarik tangan Arin dan mendorongnya masuk dan menutup pintunya keras.

Arin menatap Radya yang tersenyum diam diam dia mengucapkan terimakasih pada Radya yang menepati janjinya untuk membantunya dekat dengan Bian seperti saat ini. Bian melirik Arin sekilas lalu mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, "alamat?!"

Arin tergagap mendengar suara datar Bian, lalu menyebutkan alamatnya dengan gugup sambil menatap Bian malu malu. Hanya ada keheningan di mobil itu Arin pun binggung harus memulainya dengan apa lagi pula Bian terlihat tak berminat untuk membuka pembicaraan atau membuka hatinya.

Aduhh..

"Udah kak sini aja."

Bian memberhentikan mobilnya di perempatan dekat rumah Arin, Arin segera turun dan mengucapkan terimakasih pada Bian.

"Makasih banyak kak."

Bian hanya mengangguk lalu menjalankan mobilnya lagi untuk pulang. Arin melangkah cepat menuju rumahnya dengan riang, sesekali menyapa tetangganya dengan ramah seolah melupakan sakit di pipinya.

Untung saja rumahnya hari ini sedang kosong, jadi dia tak perlu berbohong untuk memberi alasan tentang luka di pipinya. Karena ibu dan adiknya sedang berada di rumah neneknya. Dengan muka sumringahnya Arin membaringkan dirinya di tempat tidur, tentunya setelah mengganti seragamnya dengan baju harian sederhananya.

"Aaaaaa..." teriak Arin tertahan dia menutupi wajahnya yang memerah seperti kepiting rebus.

Arin mengingat lagi saat Bian memakan nasi goreng pemberiannya dan mengucapkan terimakasih padanya, dan mengantarnya pulang. Ya meskipun terpaksa karena disuruh Radya, tapi Arin baper.

"NENG ARIN.."

Arin bangun dari tidurnya lalu merapikan rambutnya yang berantakan karena aksi gulung gulung di kasur karena baper tadi.

"Ehh ibu, kenapa ya Bu..?" tanya Arin menatap ramah tetangga dekatnya.

Bu Marni tersenyum, melihat Arin lalu menyipitkan matanya saat ada bekas cakaran di pipi Arin, "loh ini kenapa neng?"

Arin tersenyum canggung lalu memutar otaknya untuk mencari alasan.

"Ahh ini tadi Arin asik bercanda sama temen terus gak sengaja ke cakar Bu, udah diobatin juga kok." bohong Arin.

ALBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang