EPILOG

11.8K 442 156
                                    

Aku selesai.
Rara
_____________

Suasana berduka terasa sangat kental di kediaman keluarga Bramantyo pagi ini, kabar meninggal nya putri kesayangan keluarga itu membuat semua orang kaget dan bertanya tanya. Kenapakah gerangan?.

Suasana haru semakin terasa ketika tangisan para sahabat saling bersahutan terutama Khalisa yang baru datang dan baru tau, dia menangis histeris memeluk peti jenazah Radya.

Bahkan Rian dan Ansel pun tak bisa diam sejak kemarin, semua nya hancur, semuanya sedih namun ada seseorang yang benar benar hancur lebur bagai kehilangan nyawanya sendiri. Siapa lagi jika bukan lelaki tampan yang mengenakan kemeja hitam dengan raut kosong itu.

Sejak pagi pelayat tak henti hentinya datang, karangan bunga pun memenuhi pelataran dan jalan depan rumah besar itu. Banyak sekali rekan bisnis, saudara, bahkan awak media yang ingin meliput.

Namun ribuan bodyguard Lingga kerahkan untuk mengatasi kerusuhan media masa yang akan meliput dan mewawancarainya. Dia rasa itu privasi dan bukan konsumsi publik. Dan dia juga tak mau orang lain tau penyebab kematian putrinya.

Puluhan bahkan ratusan rekan bisnis pun datang saling mengungkapkan bela sungkawa untuk Lingga, entah itu tulus atau hanya sekedar pencitraan semata.

Bian terdiam, tak menangis lagi entahlah dia terlalu binggung dengan keadaan ini. Manik hitamnya tak beralih dari peti jenazah yang sudah tertutup itu. Dia hampir tak sadarkan diri tadi saat melihat tubuh Radya terbalut kain putih yang semakin menyadarkannya bahwa gadis itu benar benar akan meninggalkannya.

Tangannya tak berhenti mengusap bingkai foto Radya yang tersenyum lebar menatap kamera. Dia ingat betul, foto itu dia ambil sebelum kemarin berangkat ke Jogja yang menjadi liburan terakhir mereka.

Dia menoleh ke sebelah kanannya ketika ada yang menepuk pundaknya pelan, Artha. Cowok itu tersenyum tipis lalu merangkul bahu Bian menguatkan. Hubungan mereka memang agak renggang akhir akhir ini namun dia tetap menyayangi Bian sama seperti adiknya sendiri.

Dulu saat Naina pergi, Bian lah orang pertama yang mengatakan bahwa kita harus tetap hidup walau tak bernyawa. Setidaknya hidup itu hanya bertujuan untuk menunggu giliran mati.

"Rara gak akan suka liat lo gini, lo harus terusin hidup lo walau tujuannya cuma mau ketemu Rara nantinya." ucap Artha mengingat perkataan Bian dulu.

"Gue udah pernah kok ngerasain jadi lo saat ini, lo tau apa yang lo bilang sama gue dulu?."

Bian menaikkan sebelah alisnya.

"Lo bilang, Tha. Naina emang udah gak ada tapi gue yakin rasa dia akan tetap hidup di hati lo, selamanya."

Bian menghela nafas beratnya lalu menunduk, matanya tak beralih dari foto Radya. Terlihat mata cowok itu memerah menahan tangis, bibirnya bergetar ingin mengeluarkan isakan.

Mungkin bagi sebagian orang menyangka yang meninggal hanyalah Radya, gadis cantik nan pintar yang merupakan putri tunggal keluarga Bramantyo. Tapi bagi Bian yang meninggalkannya adalah dunianya, nyawanya, hatinya, segalanya.

"Yang mau gue bilang, sama yan. Dulu gue sehancur ini sampai sekarang pun gue gak akan ikhlas." lirih Artha tersenyum kecut.

"Tapi kita bisa tetap hidup dan capai semua mimpi kita, walau serasa mati."

ALBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang