Bian diam, menatap tubuh terbujur kaku yang sudah tertutupi kain putih polos. Telinganya panas mendengar tangisan pilu Rian yang baru saja sadar.
"RARA..... semua ini salah gue!"
Ansel diam, air matanya sudah kering. tangannya tak berhenti mengelus punggung Rian. "Diem!, bukan salah lo!." jawabnya menenangkan sahabatnya yang baru bangun dari pingsannya.
Rian menggeleng lalu berlari dengan terpincang-pincang memeluk kaki Bian yang duduk diam di depan pintu ruang jenazah itu.
"Gue lemah, maafin gue.. Yan jangan diem aja!."
"Gue yang salah Yan, lo boleh bunuh gue Yan, gue gak bisa jagain malaikat lo."
"Sorry, sorry, maafin gue Yan....hiks.."
Artha berjalan mendekati Rian lalu menepuk punggung cowok itu dia tau Rian masih shock sekaligus merasa bersalah, "gak ada yang nyalahin lo, jangan gini!."
Rian menggeleng tetap memeluk kaki Bian yang pandangannya kosong seperti sudah tak ada kehidupan lagi, "Yan....jangan diem aja. Pukul gue Yan. Bunuh!"
"Gue gak bisa jagain Rara... Gue sampah..."
Bian tak menjawab namun aura yang dia keluarkan cukup membuat ruangan dingin ini terasa sangat mencekam. Empat orang itu seketika merinding dengan aura yang Bian keluarkan, mereka tau Bian tak akan pernah diam saja karena kejadian sebesar ini. Pastinya lelaki itu akan marah besar yang tak bisa terbayangkan di benak mereka.
Artha membantu Rian berdiri lalu menuntunnya ke kursi karena kaki Rian terkilir, "jangan pernah salahin diri lo!, Semua udah terjadi dan ini semua salah anjing itu."
Rian diam menunduk air matanya tak bisa ditahan, "gimana bisa sih Ra?..kenapa lo pergi secepat ini?!."
"Tadi kita masih ketawa ketawa loh, liat Ra Bian ancur gak ada lo!." bisik Rian dengan mata menatap ke arah satu brankar di depan mereka.
Artha diam, dia menjatuhkan tubuhnya bersandar di tembok putih rumah sakit itu. Semua pasti hancur, bukan hanya Bian. Namun semua masih bisa hidup tapi entahlah tak tau dengan Bian.
Brak...
Mereka kompak mengalihkan pandangannya ke arah pintu, ada Gery yang berdiri dengan napas memburu dan jangan lupakan air mata yang membasahi pipinya.
Gery berjalan pelan mendekati Bian, "BILANG SEMUA INI BOONG??!." tanyanya berteriak.
Bian diam masih dengan pandangan kosongnya, dia ingin menangis dan menjerit menahan kepergian Radya yang sangat menyakitinya. Namun rasanya hal itu hanyalah kesia siaan.
Namun apalah daya, Bian terlalu lemah berbicara saja tak sanggup hanya beberapa tetes air mata yang mewakili hatinya saat ini. Matanya menangis, sedih sekaligus dendam berkecamuk hingga menciptakan kobaran api yang nampak di manik hitam pekat itu.
"Maaf.." jawab Bian berbisik.
Tangis Gery semakin deras, dia mendekat ke brankar lalu membuka kain putih yang menutupi wajah Radya. Wajah gadis itu masih sangat cantik bahkan lebih cantik sangat bercahaya dan nampak bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBIAN
Teen FictionAlbian Athalla Brawijaya, cowok dengan sejuta pesonanya yang dapat memikat kaum hawa. Berperan juga sebagai ketua geng motor terbesar. Kebengisannya dalam membantai semua musuh musuhnya membuatnya semakin di segani. Tapi siapa yang menyangka, di bal...