31

10.4K 475 99
                                    

"Ra.. Rara.." panggil Bian pada Radya yang baru turun dari mobil Lingga.

Bian memeluk erat tubuh Radya yang terasa sangat rapuh, perempuan itu hanya diam. Jujur dia sedikit kecewa karena Bian tak ada untuknya tadi, apalagi hanya karena Bian mengantar Arin ke rumah sakit. Tapi seharusnya Bian bisa menyusul kan?.

Radya membalas pelukan Bian, tak tahan Radya menumpahkan lagi tangisnya. Dia menangis tersedu sedu dengan pilu, membuat Lingga tak sanggup mendengarnya lalu bergegas masuk.

"Maaf... Maaf ,maaf.." bisik Bian mengecupi puncak kepala Radya berkali kali.

Bian melepas pelukannya lalu mengecup kedua mata Radya yang sembab dan bengkak, rasa bersalahnya semakin besar melihat itu. Bian mengecup tangan Radya sekilas, "masuk ya, ganti baju."

Radya mengangguk, cowok itu segera merangkul bahu Radya untuk masuk ke rumah itu tepatnya ke kamar Radya.

"Lo mandi dulu ya gue disini kok." ujar Bian lalu memberikan setelah baju tidur untuk Radya.

Radya kembali mengangguk dengan patuh, lalu memasuki kamar mandinya untuk membersihkan dirinya. Setelah itu, Bian menggusak rambutnya frustasi, lalu mengeram marah membayangkan wajah Arin yang dengan lancang mematikan telfon Artha tadi.

"Awas lo Arin!, Gak akan gue biarin lo hidup tenang." gumamnya pelan.

Bian mengalihkan pandangannya ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka menampakan Radya yang sudah nampak lebih segar. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya, Bian langsung bangkit dari duduknya ketika Radya memegang silet di tangan kanannya, yang dia tau persis untuk apa.

Cowok itu ingin mengambil alih silet itu, melihat itu Radya langsung menggenggam silet itu erat yang membuat tangannya seketika terluka dan mengeluarkan banyak darah.

Bian membulatkan matanya lalu menatap Radya tajam, "Rara gak boleh!" peringat nya yang tak di perdulikan Radya.

Radya menggeleng mundur menjauhi Bian, dia duduk di pojok kamarnya dan mulai menggoreskan silet itu di lengan dan kakinya tepat di hadapan Bian. Ia merasakan sakit dari luka yang dia buat. Sejenak dia memejamkan matanya menghirup bau darahnya yang amis, lalu tersenyum lega bahkan tertawa.

Melihat itu Bian mengusap wajah nya gusar, dia menjambak rambutnya sendiri. Sudah beberapa kali Radya melakukan ini tepat di hadapannya dan dia tak bisa melakukan apapun. Dia mendekati Radya yang menunduk menatap tangannya yang penuh darah, Bian mengusap lembut rambut Radya.

Gadis itu menatap Bian dengan pandangan mengadu, "tangan gue berdarah Al." adu nya menyodorkan tangannya di hadapan Bian.

Bian hanya bisa tersenyum lembut, lalu mengelap darah itu dengan tangannya dengan gerakan pelan, "udah kan, udah yuk." ajak Bian lembut.

"Masih ada.." ucap Radya lalu menekan lukanya agar kembali mengeluarkan darah.

Bian menghela napas panjangnya lalu mengelap darah itu lagi, "udah yuk di obatin."

Radya mengangguk pelan, "tapi gak sakit.." tuturnya pelan.

"Nyaman." sambungnya lalu memejamkan matanya.

Bian kembali tersenyum lembut, "Rara mau kulitnya jelek?"

Radya segera menggelengkan kepalanya, dia tak mau. Tidak mau ada yang kurang dari dirinya.

"Yaudah yuk diobatin."

Radya bangkit lalu berjalan dibantu Bian duduk di ranjang empuknya, matanya tak lepas dari Bian yang sedang mencari sesuatu di laci kamarnya.

Dia menatap Bian yang telaten mengobati semua lukanya, "Al gak ninggalin Rara kan?"

Bian menggeleng pelan, masih fokus dengan kegiatannya membuat Radya tak puas.

ALBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang