ReDean

19.4K 436 96
                                    

Bree!!

Karena belum nyampai target dan Tata juga belum ada ide buat lanjutin part lalu, jadi Tata publish ini ya. Udah berdebu banget di draft, hehe.

Bacanya pelan-pelan dan dihayati ya, biar gak salah faham;)

Enjoying!














Aku terus menunduk saat tatapan beberapa murid seolah merendahkanku. Dapat ku dengar jelas bisik-bisik mereka yang tentu saja sengaja diperbesar. Aku berhenti melangkah dan semakin menunduk saat sepasang sepatu hitam berada dihadapanku.

"Hey! Kenapa kau terus menunduk?"

Suara serak khas anak baru gede menyapa telingaku. Aku agak beringsut ke belakang saat tiba-tiba tangan seseorang mengacak rambut pendekku.

"Jangan terus menunduk. Nanti kau tertabrak tembok."

Lagi-lagi suara itu terdengar. Aku agak mendongak lalu kembali menunduk saat melihat anak itu senyum. Bisikan besar murid sekitarku kembali menyapa indera.

"Aku tersesat. Bisa antar aku ke kelas delapan C."

Apa anak itu murid baru yang kemarin di ucapkan teman-ah maksudnya siswa dikelas ku? Sepertinya iya. Apalagi alasan anak itu tersesat. Aku mengangguk tanpa mengangkat pandanganku dan berjalan mendahuluinya.

"Hey, kalian. Apa salahnya tidak punya ayah? Bukan keinginannya orang tuanya berpisah. Jangan urusin masalah orang kalau masalah sendiri gak bisa ngurus. Kecil-kecil udah ngelambe turah. Otak udang!"

Lingkaran tangan dibahuku membuatku agak kaget. Anak itu menyengir sebelum mengucapkan kata yang sungguh menggetarkan tubuhku. "Nasib kita sama. Sama-sama tinggal sama satu orang tua. Mau berteman denganku? Aku akan membelamu kalau ada yang kayak tadi lagi."

Aku menoleh kesamping dan agak mendongak karena tingginya sedikit melebihiku. Anak itu kembali menyengir lalu tangannya membuat kepalan.

"Ayo bertos, teman! Namaku Dean, siapa namamu?"

"A-aku Re—"

Ting ... Ting ...

"Kalian berdua, apa tak mendengar bell berbunyi ha?! Cepat masuk!"

"Maaf, bu."

***

Hari-hari yang selalu kulewati dengan tundukan kepala kini tidak lagi. Dean, lelaki yang selalu ada di sisiku itu benar-benar melindungi ku dari penindasan ucapan siswa-siswi di sekolahku. Bahkan ia tak segan-segan mengatai balik siswa tersebut hingga ia puas. Dan aku, aku tentu saja masih seperti yang dulu. Pemalu dan kurang percaya diri.

Kini kami—aku dan Dean—telah memasuki sekolah menengah atas. Sebenarnya ayahnya ingin menyekolahkan Dean di luar negeri, tapi itu ditolak mentah-mentah oleh Dean.

"Aku tak mau sekolah disana. Siapa yang bakal jagain kamu di sini kalau aku tak ada? Aku tak mau jauh dari kamu." Begitulah alasannya saat aku tanya kenapa ia menolak. Dan aku tidak bisa membantahnya.

Selama di sekolah ini, aku juga tidak terlalu berbaur dengan siswa lain. Kebanyakan dari mereka hanya dekat hari ini dan esoknya tak mau menyapa bahkan menatapku. Seolah aku ini manusia yang menjijikkan. Tentu saja hanya Dean yang tak menjauhiku, dia benar-benar temanku atau lebih dari temanku—menurutku.

"Jangan melamun. Awas nanti dirasuki setan."

"Kamu setannya!"

Aku menunduk saat lengan Dean melingkari bahuku. Dapat aku dengar suara cibiran dari berbagai sisi meja kantin karena Dean memilih meja tengah. Usapan lembut di kepalaku membuat hatiku menghangat.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang