Accident of love 7

4.4K 256 55
                                    

Hai, i'm back!

Pengen deh di spam komentar 🐊 disini. Ada yang mau wujudin?

Warning
Chapture ini tidak disarankan untuk yang uwwuphobia.





Happy Reading Chingu!!!











Usia kandungan Givia telah memasuki minggu ke 13 dan selama dua bulan juga pasangan muda ini berada di atap yang sama.

Tak ada perubahan berarti. Setiap hari Ethan selalu bangun pagi, menyiapkan sarapan yang tak pernah di sentuh Givia, membersihkan rumah, berangkat sekolah dan pulang larut malam. Sementara Givia, semenjak ia bermimpi erotis, ia semakin mengacuhkan Ethan. Tidak peduli dan tak menganggap kehadiran Ethan.

Sekarang pukul tujuh lima belas ... Sekarang pukul tujuh lima belas.

Suara alarm membangunkan Givia dari tidurnya. Tangannya memencet tombol off dan satunya lagi mengucek mata. Dirasa pandangan mulai jelas, mata Givia seketika membulat lebar.

"Saya terlambat!"

Buru-buru Givia bangun dari kasur kecil nya dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Tangannya segera mengambil gayung, mulai menyikat gigi. Tak ada waktu untuk mandi, Givia pun hanya mencuci muka dan segera berseragam. Matanya melirik awas jam yang menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh lima. Dengan cepat ia berjalan menuju ke pintu depan.

"Sekolah?"

Tanpa menoleh, Givia tahu itu suara Ethan. Ia hanya berdehem pelan sambil memasang sepatu.

"Hari ini libur. Tanggal merah."

Gerakan tangan Givia terhenti. Ia mengerjap berusaha mencermati ucapan Ethan. Tanggal merah?

"Oh." Ucapan datar itu hanya menutupi jika dirinya malu bukan kepalang. Ia beranjak ke dalam tanpa melepas sebelah sepatunya.

Ethan tersenyum geli. Meski sebulan tak ada percakapan berarti juga skinship berlebih, namun ia selalu saja gemas dengan tingkah Givia. Entah sifat acuh ataupun wajah juteknya, semua itu terlihat lucu dimata Ethan. Bucin tingkat atas, cung!

"Sarapan dulu, nanti baru sekolah," goda Ethan yang semakin membuat Givia kesal.

"Saya tidak ingin sarapan!"

"Bukan lauk tempe kok. Aku ada uang lebih jadi beli ikan goreng sama sambal teri. Sini, Via."

Memejamkan mata, Givia sedikit bergidik lalu bersiap duduk lesehan di lantai agak jauh dari Ethan. Givia memegang perut buncitnya saat menyelonjorkan kaki. Raut wajah Ethan sumringah melihat kepatuhan istrinya walau agak ogah-ogahan. Dengan cekatan tangannya mengisi nasi juga lauknya di piring plastik lalu meletakkan di samping Givia yang selonjoran.

Manik bening Givia menyorot sendu piring di samping. "Mana sendoknya?" tanyanya lirih.

Begitu bahagia hingga Ethan tak memperhatikan wajah Givia. Ia menyodorkan sebuah mangkuk berisi air bersih. "Pake tangan lebih enak daripada pake sendok. Coba cuci tangannya disini."

Tangan mungil itu bergetar masuk kedalam kobokan. Saat memasukkan makanan kedalam mulut, mati-matian Givia menahan air mata agar tak tumpah. Duduk di lantai, piring plastik, lauk seadanya dan menggunakan tangan, Givia merasa ia lebih rendah daripada pembantu dirumahnya. Meski hanya pembantu tetapi mereka menggunakan meja makan khusus, piring kaca dan masih menggunakan sendok.

"Enak?" tanya Ethan perhatian. Perlahan ia mendekat dan melepaskan sepatu Givia lalu memijat kaki sang istri.

Usai menelan, perut Givia serasa di aduk. Ibu muda itu menutup mulut menahan mual yang mendera. Ethan yang melihatnya langsung mengangkat Givia menuju kamar mandi.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang