60

817 71 6
                                    

Special chapter : Kenta POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Special chapter : Kenta POV

Kenta menaruh kepalanya di meja berencana untuk tidur siang saat guru piket memberi kabar bahwa guru geografinya berhalangan hadir. Sekolah ini terlalu banyak punya jam kosong, fikirnya. Sebelum ia bisa pergi ke dunia mimpi, bahunya di tepuk pelan. Kenta membuka matanya, dan langsung disuguhkan pemandangan tangisan Emma.

Emma tak merengek ataupun menangis heboh, raut wajahnya terlihat begitu terluka dan air matanya mengucur deras. Kenta bersyukur Emma bukan tipe perempuan yang menangis tersengguk-sengguk karena ia akan kebingungan kalau itu benar terjadi. Kenta menegakkan duduknya. Kini ia bisa melihat lebam kecil di dahi Emma. Lebamnya tak begitu gelap, namun tetap ketara.

"Kenapa Em? Dahimu kenapa?"
"Ken...."
"Ssshh, jangan nangis dulu. Are you okay?"
"Im not. But i can't tell you why"
"Loh kenapa gitu?"
"Karena kalau aku kasih tau, mungkin kamu gak percaya sama aku"

Kenta kebingungan dibuatnya. Sebenarnya Kenta paling tak suka mencampuri urusan orang lain, namun di titik ini tak mungkin ia benar-benar terpojok. Air mata Emma pun sama sekali tak membantu posisinya. Kenta melirik kiri dan kanan mencari siapa saja yang bisa menggantikan posisinya saat ini. Keributan remaja puber adalah hal terakhir yang ia harapkan saat ini karena hanya ia dan Tuhan yang tahu bagaimana ia hampir tak punya waktu mengurus dirinya sendiri.

"Ok. Ummm. Em, aku panggilin guru ya? Apa mau ke uks?"
"Hah? Nooo. I dont want to"
"Jadi gimana? Aku gak yakin bisa bantu kamu, Em"
"Bisa. Soalnya ini tentang Mitchell."
"Mi-mitchell??"

Fikiran Kenta seketika itu pula blank seperti canvas kosong. Kenta tentu tahu Emma dan Mitchell saling tak cocok satu sama lain. Namun ia tak mau ambil pusing, toh Emma hanya akan berada di hidupnya hanya setahun. Setelah ia lulus, ia tak akan pernah berurusan lagi dengan Emma. Begitu pula Mitchell. Tangis Emma tiba-tiba semakin keras ketika Kenta menatapnya dengan tak yakin. Kenta tak tahu harus bagaimana lagi agar Emma menghentikan tantrumnya kala itu.

"Ssshh.. ssshh.. Em okay. Okay. Aku coba bantu tapi gak janji ya. Kenapa sama Mitchell?"
"She... she bullied me ken...." Jawab Emma pelan, suaranya hampir seperti bisikan.

Mendengar jawaban Emma, Kenta hampir saja kehilangan kendali untuk tertawa keras. Kehidupan Mitchell tak jauh berbeda dengan kehidupannya. Itu artinya, Mitchell tak akan punya waktu dan tenaga untuk membully seseorang. Apalagi mengingat sifat Mitchell yang mudah akrab dengan semua orang. Bagaimana mungkin orang seperti Emma bisa terintimidasi oleh sahabatnya itu? Mendengar tak ada jawaban keluar dari mulut Kenta, Emma melanjutkan drama buatannya.

"I told you... gak akan ada yang percaya sama aku"
"Eh.. uh.. ummm, Em. No offense but i dont think she capable of doing so..."
"Kamu liat Ken ini lebam di dahiku. Ini semua dia yang lakuin."

Tak percaya, Kenta bahkan mengulurkan tangannya untuk mengusap dahi Emma dengan sedikit keras untuk memastikan lebam itu lebam asli, bukan make up. Walaupun ia sadar tindakannya tak sopan namun Kenta butuh memastikan segalanya sebelum ia mengambil kesimpulanny sendiri. Itu benar-benar lebam. Ini kali pertama Kenta tau sebuah sentilan bisa menyebabkan lebam seperti ini. Walaupun tak terlalu gelap, namun Kenta yakin siapapun yang melakukan ini pada Emma perlu diacungkan jempol untuk tenaganya. Kenta tak bisa membayangkan betapa sakitnya sentilan itu. Mitchell mempunyai sentilan yang kuat, hampir semua trainee tau itu. Bahkan sentilan Mitchell pun tak pernah sekalipun meninggalkan lebam, fikirnya.

Serendipity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang