82

840 75 5
                                    

"Je-jeno oppa? Ngapain kesini?" Mitchell yang baru saja akan kembali dari unitnya!setelah membuang sampah ke lantai dasar terkejut melihat Jeno oppa yang tengah menggedor-gedor pintu unitnya dengan khawatir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Je-jeno oppa? Ngapain kesini?" Mitchell yang baru saja akan kembali dari unitnya!setelah membuang sampah ke lantai dasar terkejut melihat Jeno oppa yang tengah menggedor-gedor pintu unitnya dengan khawatir. Kalau saja ia duduk sedikit lebih lama lagi di taman dekat unitnya, ia yakin pintunya akan dibobol masuk.
"Migi-ya... abis darimana?" Jeno oppa memperhatikan dirinya dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya dengan khawatir.
"Buang sampah"

Jeno oppa melangkahkan kaki jenjangnya dengan cepat ke arah Mitchell. Membungkukkan wajahnya agar dapat sejajar dengan wajah Mitchell, Jeno oppa membuka masker yang Mitchell kenakan dan memperhatikan dengan khawatir tiap lekukan di wajahnya. Mencoba menemukan isi hati Mitchell yang tergambar di wajahnya. Seketika itu pula Mitchell merasa malu. Ia tak mengurus dirinya selama beberapa hari kebelakang. Wajahnya bengkak karena terlalu sering tertidur, matanya terlihat sendu, dan bibirnya pecah-pecah karena terlalu sering ia gigit.

Mitchell memalingkan wajahnya dan menggeser tubuh Jeno oppa kesamping.
"Oppa, aku baik-baik saja" Jawabnya sambil berjalan membuka pintu unitnya. Ia tak bisa membiarkan Jeno oppa di koridor, terlalu bahaya.
"Kenapa kamu gak balas chat sama sekali? Telfon pun tak ada yang diangkat." Tanya Jeno oppa sambil ikut masuk ke dalam unitnya. Tak berfikir panjang, Jeno berjalan menuju dapur dan kulkas. Melaksanakan pesan Jaemin untuk mengecek stock makanan di apartment Mitchell.

Kekhawatiran Jaemin nampaknya benar, karena Jeno tak dapat menemukan makanan apapun di kulkasnya. Hanya beberapa helai masker, krim wajah, air mineral, dan selai. Penasaran, Jeno membuka tiap kabinet di dapurnya, lagi-lagi tak menemukan makanan apapun kecuali roti tawar di atas meja. Apa Mitchell hanya memakan roti ini tiap hari?

"Hm? Kenapa ga bales chat, migi-ya?" Tak mendengar ada jawaban apapun dari Mitchell, Jeno melongokan kepalanya untuk mengecek Mitchell. Mitchell terlihat sedang duduk di sofa ruang tengah, menekuk kakinya di depan dada sambil menatap kosong ke arahnya. Jeno menghela nafas, menaruh makanan yang ia bawa di atas meja dapur dan berjalan ke arah Mitchell.
"Oke aku gak akan nanya lagi. Kamu gak lapar?" Entah hanya perasaannya atau bukan, Jeno merasa tubuh Mitchell kian mengecil dan ringkih. Bahkan pergelangan tangannya kini terasa menyusut di dalam genggamannya.

"Oppa."
"Hm?"
"Oppa pulang aja boleh ga? Aku malu belum mandi hari ini. Tapi aku rasanya gak punya cukup tenaga buat mandi sekarang" Mitchell menatap ke arah Jeno sebagai bentuk merajuk. Bahkan belum mandi pun Mitchell masih terlihat cantik di matanya. Berantakan, tapi tetap cantik.
"Sini" Jeno menunggu sampai Mitchell menyenderkan sendiri kepalanya pada pundaknya. Mereka duduk dalam diam selama beberapa saat. Tak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Rasanya nyaman, tak sendirian.

"Kenapa? Kamu mau bilang pundaku juga keras dan gak nyaman? Bintang 1?" Canda Jeno ketika Mitchell menggerakan kepalanya beberapa kali.
"Iya gak enak. Lumayan deh tapi daripada gak ada kan" Jawab Mitchell sekenanya yang menuai tawa Jeno. Tangan sebelah kiri Jeno yang tengah menganggur mengambil tangan Mitchell. Tangan Mitchell terasa sangat dingin digenggamannya.

Serendipity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang