Chapter - 8

5.8K 184 0
                                    

Seumur hidupnya, Lili tidak pernah membenci siapapun. Dia juga tidak punya dendam pada orang kaya yang hidup dengan mudah. Tapi ada satu hal yang ia tidak suka. Seseorang yang melakukan humble bragging.

Dan baru saja, Atlas terdengar seperti itu di telinganya. Ketertarikannya menguap entah kemana. Bukan tanpa sebab. Hanya saja hidup Lili tidak pernah mudah sejak ia remaja.

Saat dirinya masih di bangku kuliah pun, dia harus magang disela - sela waktu belajarnya untuk mendapatkan uang. Uang untuk menutup seluruh hutang orang tuanya. Uang yang tidak sedikit bagi anak berusia awal 20an.

Hidupnya keras sejak ia kecil. Sering kali ia berharap bahwa di dunia ini tidak ada uang. Bahwa seluruh kebutuhan akan tersedia secara gratis. Bahwa semua yang ia inginkan bisa ia dapatkan tanpa membayar.

Lili remaja benci pekerjaannya. Dia selalu menangis sendirian di dalam kamarnya ketika lelah. Berharap ia tidak perlu bekerja karena badannya sakit. Berharap bosnya sedikit lebih baik padanya. Berharap jika hutang - hutang itu akan lunas tanpa ia perlu bekerja.

Itu sebabnya Lili menjadi kesal bila bertemu seseorang yang seakan menganggap remeh apa yang mereka punya. Karena untuk sampai diposisinya, bukan hal mudah untuk Lili lakukan.

"Kamu kenal Pak Atlas Li?" itu suara Aby yang membuka percakapan mereka saat perjalan pulang menuju kantor.

"Hanya sekedar tau. Aku gak kenal dia." jawab Lili sekenanya. Entahlah, suasana hatinya menjadi buruk sekarang. Di dalam hatinya, ia masih berharap bahwa Atlas bukan orang seperti itu.

Lili juga tidak mengerti apa yang dia rasakan. Apa ini karena dia merindukan lelaki itu? Atau karena dia kecewa karena Atlas terkesan tidak serius selama tiga minggu terakhir? Apa benar kekesalannya karena Atlas yang seakan menyombongkan hartanya?

- - -

Atlas
I'm in front of your door Lili.

Pesan itu Lili sampaikan saat ia sedang merebahkan tubuhnya yang lelah karena harus bekerja seharian. Helaan nafasnya terdengar begitu saja. Merasa bingung dengan dirinya sendiri.

Bingung karena rasanya ia kesal dengan Atlas tanpa alasan yang jelas. Tanpa niat ingin membalas, Lili lantas menjauhkan kembali ponselnya.

Cling!

Atlas
Aku akan tetap disini sampai kamu keluar.

Pesan baru itu mengundang decakan dari Lili. Sebuah panggilan video masuk ke ponselnya. Dari grupnya dengan Meta dan Elle.

"Gaissss!!! Guee hamill!!!" teriak Meta begitu sahabatnya menjawab panggilan. Wajahnya terlihat sangat bahagia sembari menunjukkan tes kehamilan ke arah layar.

"CONGRATULATIONS MAMI META!" ujar Lili ikut senang yang turut diikuti oleh Elle yang juga memberikan selamat.

Ketiganya menghabiskam waktu untuk mengobrol cukup lama sampai akhirnya panggilan berakhir dengan Meta yang pergi lebih dulu.

"Lo kenapa Li?" suara Elle mengurungkan niat Lili untuk menyudahi panggilan mereka.

"Hm?"

"Lo lagi ada masalah?" tanya Elle lagi. "Muka lo mendung banget gitu." timpalnya lagi.

"Oh engga ko." jawab Lili enteng.

"Yakin?" tanya Elle lagi. Sahabatnya itu memang paling tau soal dirinya.

Ting tong!

"Siapa sih itu dari tadi kita ngobrol perasaan bunyi terus bel apart lo?" Elle kembali bertanya.

"Oh itu, engga itu bel tetangga sebelah kayanya." kilah Lili.

Elle berdecak sembari memutar matanya jengah. "Gue gak sebego itu ya. Kalo emang tetangga lo, suaranya gak bakal sejelas itu kedengeran di unit lo Li."

"Siapa sih? Leo? Dia gangguin lo lagi ya?"

Ah dulu memang Leo sesekali masih sering mengunjunginya setelah mereka putus meskipun Lili tidak membukakan pintu untuknya.

"Aduh, apaansi El, gak ada." jawab Lili.

"Terus siapa dong? Atlas?" tanya Elle tepat sasaran. Lili hanya mampu terdiam setelahnya. Membuat Elle menyimpulkan bahwa dugaannya adalah benar.

"Buruan deh cerita kenapa. Daripada lo gloomy kaya gini." titahnya. Akhirnya Lili menceritakan semuany dari kejadian Oliver hingga tadi pagi.

"Tuh kan gue udah bilang! Dia tuh anak konglomerat! Gila lo Li! Buat amalan apa coba lo sampe ditaksir orang sekelas Atlas." heboh Elle pada akhirnya.

Lili hanya mampu memberikan senyum tipisnya. Tidak tahu harus merespon apa. Suasana hatinya benar - benar sedang tidak mendukung.

"Li.." Elle memanggilnya saat mendapati Lili termangu di tempatnya.

"I think he's the one for you. " katanya lagi yang mendapat kekehan paksa dari Lili diiringi dengan gelengannya.

"Yang lo lagi rasain ini. Itu respon dari rasa insecure lo yang ngerasa gak pantes sama dia. Sadar gak sadar, lo juga udah mulai punya rasa kan ke Atlas?"

Lili terdiam mendengarkannya.

"Ini juga respon dari lo yang kecewa karena merasa Atlas gak terbuka sama lo. Jauh di dalam hati lo, lo pasti berharap kalo lo orang yang paling kenal dia kan?"

Refleks Lili mengangguk.

"Udah sana, hadepin mas gantengnya. Lagian lo mau insecure-in apa si Li? Toh si Atlas juga kayanya ngincer lo banget gitu kok." timpal Elle lagi.

"Tapi El, dia-"

"Gak Li. Tuhan itu selalu punya rencana baik. Mungkin ini obat setelah disakitin Leo buat nyembuhin lo yang dikirim Tuhan. Tuhan ganti dengan yang lebih baik dari Leo. Gak ada salahnya kan kalo lo coba dulu?"

"Coba apaan sih El. Orang kita gak pacaran." sanggah Lili lagi.

"Semua orang yang pacaran juga awalnya cuma kenalan dan temenan Li." timpal Elle lagi.

"Buruan bukain pintunya, kasian tuh anak nungguin lo. Good luck!"

Dan setelahnya, panggilan itu benar - benar terputus. Menyisakan Lili yang menatap pintu seraya berpikir.

"Oke, kalo bunyi sekali lagi gue bakal bukain."

Ting tong!

Dan bunyi bel itulah yang akhirnya memantapkam langkah Lili untuk membukakan pintu.

TBC

The ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang