"Tadi dia datang ke kantor. Ternyata perusahaannya adalah klien yayasan kami yang selanjutnya."Atlas seketika mengangguk, tangannya dengan terampil menyisipkan rambut Lili ke belakang telinga wanita itu agar wajah Lili bisa lebih jelas dilihatnya.
"Atlas, kamu yakin mau dengar ini?"
Atlas menatap Lili tepat di manik matanya. Tidak tertera keraguan sedikitpun pada sorot mata pria itu.
"I'd like to know you more Lili." ucapnya setelah sebelumnya mengangguki pertanyaan Lili.
"Namanya Leo. Aku pernah bersamanya cukup lama dulu. Tapi hubungan kami tidak berjalan mulus. Kami sering putus kemudian bersama lagi untuk beberapa waktu." Lili mengusap tangan Atlas, berharap ceritanya tidak menyakiti kekasihnya itu.
"Aku menyukainya lebih dulu. Aku memperjuangkannya lebih dulu juga dan bahkan aku adalah orang yang mengajaknya untuk berpacaran." Lili meringis sedang Atlas terkekeh dibuatnya.
"Diingatanku, dulu dia orang yang baik. Pribadinya ramah, dia cukup cerdas, dan dia sangat taat pada Tuhannya. Dia juga cukup tampan. Setidaknya beberapa hal itu sepertinya yang membuatku menyukainya."
"Well, tapi dia tidak lebih tampan dariku sayang." Atlas menyelanya. Membut Lili tertawa dan menghadiahi pria itu kecupan di puncak hidungnya.
"Kamu yang paling tampan." pujinya yang membuat Atlas kembali tersenyum.
"Tapi semua hal yang aku sukai darinya satu persatu lenyap begitu saja. Mungkin itu cara Tuhan untuk membuatku sadar bahwa dia bukan yang terbaik." Lili menjeda perkataannya, matanya kemudian menatap Atlas tepat di manik matanya.
"Dia pernah berselingkuh dariku satu kali. Tapi aku memaafkannya. Waktu itu aku bahkan tidak meminta mengakhiri hubungan kami. Karena aku percaya padanya. Tapi beberapa minggu kemudian dia justru menghilang, jarang memberiku kabar, dan saat dia kembali justru dia bilang ingin putus denganku."
Lili tersenyum saat sorot amarah terpatri di wajah Atlas. Pria itu semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Lili. Mengusapnya beberapakali beberapa kali berharap itu bisa membuat Lili lebih tenang.
Lili terkekeh, tangannya terulur untuk mengusap dahi Atlas yang berkerut. Membuat Atlas tersadar bahwa wajahnya cukup tegang tadi.
"Kemudian kami putus. Aku masih sering mengingatnya waktu itu. Beberapakali dia mengajak bertemu dan mengirimkan pesan. Tapi aku belakangan sadar semua itu adalah caranya memanfaatkan aku. Kadang dia bertanya soal ujiannya atau dilain waktu dia menyuruhku membantunya membuat sebuah jurnal yang juga adalah tugasnya."
Dari tempatnya Atlas ingin sekali memeluk Lili. Wanita itu terlalu polos hingga tak sadar kebaikannya dimanfaatkan.
"Kemudian beberapa tahun setelahnya, dia beberapa kali justru datang ke rumahku. Waktu itu aku masih tinggal bersama Mama dan Papa. Biasanya dia akan membawakan beberapa makanan untukku. Entah apa tujuannya."
Lili mengedikkan bahunya. Sebelum kembali melanjutkan ceritanya, "Berapa kalipun aku mencoba dekat dengan seseorang aku selalu kembali padanya. Aku justru membandingkan mereka dengan Leo. Bahkan berpikir tidak ada yang sebaik Leo."
"Aku tidak termasuk di dalamnya kan?" tanya Atlas menginterupsi.
Tangan Lili terangkat untuk mengelus rahang pria itu. Lili menggeleng sebelum menjawab, "Kamu yang terbaik. Dia tidak ada apa - apanya dibanding kamu." Atlas tersenyum. Jiwa bucinnya itu meronta - ronta karena senang bukan main.
"Di beberapa kesempatan dia mengajakku untuk menjalin hubungan kembali. Tapi aku menolaknya karena aku diam - diam tau dibelakangku dia menceritakan kebohongan atas alasan kami putus." Lili meringis saat mengingat memori itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Man
RomanceWARNING !! Cerita ini bakal bikin kamu salting brutal dan senyam senyum sendiri!!! - - - "Aku gak percaya kalau kamu cuma pernah pacaran saat kamu SMA." gumam Lili seraya menatap pria tampan didepannya, Atlas. "Kenapa gak percaya?" tanya Atlas. "Wel...