WARNING !!
Cerita ini bakal bikin kamu salting brutal dan senyam senyum sendiri!!!
- - -
"Aku gak percaya kalau kamu cuma pernah pacaran saat kamu SMA." gumam Lili seraya menatap pria tampan didepannya, Atlas.
"Kenapa gak percaya?" tanya Atlas.
"Wel...
"Sayang kamu yakin gak mau upgrade tiket kita ke business class?" entah ini sudah pertanyaan Atlas yang ke berapa sejak mereka memasuki pesawat untuk pulang ke Indonesia. Sekarang pria itu kembali bertanya setelah memasukkan barang mereka ke dalam cabin.
Lili menggeleng lagi sebagai jawaban, justru menepuk kursi kosong di sampingnya bermaksud menyuruh Atlas untuk segera duduk.
"Kenapa memangnya? Padahal kalau di business class kamu bisa lebih nyaman." tanya Atlas lagi. Lili kemudian menarik tangan lelaki itu dan membawanya ke dalam genggamannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kalau di sana kita gak bisa sedekat ini. Terlalu banyak partisi antar kursinya. Aku gak suka." cibir Lili seraya dengan manja menyandarkan kepalanya di pundak Atlas.
"Lihat siapa yang manja ini," jahil Atlas pada istrinya saat melihat wajah Lili yang sudah bersemu. "Kalau begitu kita beli jet pribadi saja besok. Aku akan atur supaya kursinya-"
"Ck! Gak perlu." potong Lili yang tidak senang dengan ide Atlas. "Jangan boros!" perintah Lili lagi dengan memincingkan matanya seraya menatap Atlas.
"Itu gak boros sayang. Kan barangnya juga akan kita pakai. Lagi pula Ayah juga punya jadi-"
"Aku gak mau..." rengek Lili. Ia tidak suka kalau Atlas sudah tanpa sadar menunjukkan kekayaannya begini. Ia lebih suka Atlas yang sederhana. Bukan Atlas si anak konglomerat.
"Oke oke. Aku gak akan beli." timpal Atlas akhirnya menurut saat melihat wajah Lili yang mulai masam. Padahal sebenarnya Atlas bisa saja menggunakan jet pribadi milik ayahnya atau perusahaan mereka. Tapi itupun ditolak Lili saat mereka ingin pergi honeymoon.
Ada saja alasan yang gadis itu katakan, dari mulai membahas pajak karbon atas pesawat hingga berbicara tentang emisinya. Padahal Atlas tahu kalau Lili hanya tidak mau menggunakannya. Istrinya itu, sepertinya memang belum terbiasa dengan kehidupan Atlas yang seperti itu.
"Permisi tuan, bisa saya bantu kencangkan sabuk nya?" suara seorang pramugari dengan bahasa inggris yang fasih menyapa telinga sepasang pasutri itu.
"I can do it myself." tolak Atlas dan kemudian membenahi sabuknya. Sedang si pramugari itu masih tetap menatap Atlas penuh minat tanpa melepaskan senyumannya.
Di tempatnya Lili menahan rasa tak nyamannya. Lantas menoleh ke arah Atlas saat menyadari pramugari centil tadi yang masih memandangi suaminya.
"Can you kiss me now?" tanya Lili dengan matanya yang menatap penuh ke wajah suaminya. Dahi Atlas berkerut, kebingungan mendapati permintaan Lili yang tiba - tiba. Namun tetap diturutinya.
Satu kecupan pun mendarat di pipi Lili. Namun tak langsung membuat Lili puas, dengan bibir yang mencebik Lili bersuara lagi, "Kenapa di pipi?" gerutunya tak tertahankan.
"Kamu maunya dimana sayang?" tanya Atlas dengan geli. Sepertinya mulai mengerti kenapa istrinya bertingkah demikian saat dirinya tanpa sengaja menatap pandangan Lili yang sesekali menatap ke arah pramugari yang tadi menghampirinya.