JIMIN

2.7K 190 1
                                    

"By?" Park Jimin menjulurkan kepalanya. "Belum selesai?"

"Dikit lagi Jim."

"Dari dua jam yang lalu, kau juga bilang seperti itu."

Beda. Dua jam yang lalu kau akan menyelesaikan bab empat karya tulis ilmiahmu dan sekarang kau akan menyelesaikan kesimpulan juga saran. "Hehe," Cengirmu. "Sini."

Jimin masuk ke dalam kamarmu. Meskipun kalian tinggal di apartemen yang sama-satu ruangan- namun tidak menjadikan kalian tidur di kamar yang sama. Ya kalian punya kamar masing-masing dan tahu kapan kalian harus memiliki waktu berdua seperti ini.

"Kau belum makan."

"Sebentar lagi Jim."

"Kalau sudah dengan tugasmu, kau lupa segalanya."

Kau tertawa. Melirik Jimin yang meringkuk naik ke atas kasur menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang. Sementara kau di depannya dengan meja lipat dan juga leptopmu.

"Jangan menforsir tubuhmu By."

"Coba katakan itu pada Park Jimin."

Tanpa menoleh ke belakang kau tahu Jimin tengah meringis. "Ada apa?"

Biasanya Jimin tidak akan menganggumu mengerjakan tugas kalau bukan karena hal penting.

"Nothing."

Tentunya kau hapal luar dalam tinggal bertahun-tahun dengan Park Jimin.

"Ceritakan Oppa." Meski kau masih berkutat dengan leptopmu, kau masih bisa mendengarkan apa yang Jimin resahkan.

"Aku," Jimin menimbang ucapannya. "Hanya masih kepikiran Taemin Hyung, By."

Bingo. Kau sudah menduganya.

"Taemin Oppa kenapa Jim?"

"Kau lihat kan kemarin di rumah sakit?" Saat kau ikut pergi menemani Jimin yang kalang kabut mendapat telefon dari Manajer Taemin. Mengatakan kalau pria itu tidak berhenti berteriak dan menangis. Pun saat kalian tiba di rumah sakit pria kelahiran sembilan empat itu tak hentinya menyalahkan dirinya sendiri.

"Aku khawatir." Ujar Jimin lesu. "Hyung terus menyalahkan dirinya, bilang kalau dia tidak berguna, bilang kalau dia bukan adik yang terbaik buat Jonghyun Hyung, terus merasa menyesal, tidak hentinya berkata kalau dia bodoh." Jimin menarik napas. "Aku khawatir Hyung kenapa-napa."

"Kenapa kau tidak menghiburnya Jim?" Karena biasanya Jimin adalah orang pertama yang selalu ada ketika siapapun sedih. Baik dirimu, keluarganya, sahabatnya, ataupun rekan di agensinya.

Jimin mengehela nafasnya. "Beda By.."

"Beda gimana Jim?" Kau membalikan badan menghadap Jimin. Meninggalkan tugasnya yang berteriak protes karena kau kini mengabaikannya.

"Ya beda."

"Waktu Taehyung kehilangan neneknya," Kau menaikan satu alismu. "Kau bisa."

"Beda Taehyung beda Taemin Hyung, By."

"Coba katakan dimana perbedaannya." Kau menarik lengan Jimin dan menggenggam telapak tangannya yang terasa pas di telapakmu.

"Taehyung kan teman segrupku, kita bisa bersama dua puluh empat jam, aku tahu dimana dia mengurung diri di kamar mandi, atau melamun menatap pemandangan, atau berjalan dengan tatapan kosong," Jimin mengingat kejadian tahun lalu. "Aku ada di sana dan bisa menjaganya By."

"Lalu kenapa tidak kau lakukan itu pada Taemin Oppa?"

"Hyung kan jauh Baby.."

"Kau bisa terus menghubunginya Jim, kirim pesan, menanyakan kabar, atau sekedar menanyakan apa yang ia lakukan." Tanganmu yang bebas mengelus lengannya. "Jauh lebih baik kalau kau mengajaknya pergi keluar."

Jimin tidak berkomentar.

"Schedulemu belum terlalu padat untuk akhir tahun nanti, aku juga masih harus menyelesaikan tugas kuliahku, jadi aku tidak keberatan Jim, kalau kau pergi dengannya." Lanjutmu.

"Selama ini Taemin Oppa kan yang selalu mengajakmu main?" Jimin mengangguk. "Sekarang giliranmu, sebagai adik yang peduli dengan dia, dan sebagai sahabat yang mengerti kondisinya."

"Kau bisa ajak Jongin Oppa, atau Sung Woon Oppa, main dengan yang lain biar Taemin Oppa tidak larut dalam sedihnya." Jimin kembali mengangguk mendengarkanmu.

"Kemana perginya Park Jiminku si peri baik hati yang bahkan menangis saat melihat kucing dibuang di jalan."

"Byy." Jimin mendorong pelan lenganmu saat kau menggodanya.

"Jangan merasa tidak berguna untuk Hyungmu Jim, kalau kau khawatir, dekatilah."

Jimin mengangguk untuk yang kesekian kalinya.

"Senyumnya manaa." Dia tertawa pelan saat kau menarik pipinya. Persis seperti orangtua yang ingin melihat anaknya tersenyum.

"Naah kalau ketawa gitu kan cakep Jim."

"Bawaan dari lahir sih By." Jimin mengibas rambutnya ke belakang.

"Aku nyesel udah muji Jim."

Jimin terkekeh menarikmu dalam pelukannya. "Gomawo."

"Untuk?"

"Selalu ada untukku."

Kau tersenyum.

"Aku tidak tahu jadinya kalau kau tidak ada di sini By."

"Aku selalu ada untukmu Jim."

"Sekali lagi gomawo Baby." Jimin mengangkat wajahmu dan menaruh bibirnya di keningmu. Cukup lama.

"Anytime for you Jim." Gumammu mengeratkan pelukan di tubuhnya.

Tidak hanya sahabat yang ditinggalkan yang sedih. Seluruh dunia pun berduka kehilangan salah satu artis berbakat, terlebih kolega mereka. Tidak ada yang bisa dilakukan, menangis atau merutuki diri sendiripun tidak menjadi jawaban semuanya akan kembali. Yang terpenting selain berdoa sekarang adalah saling menguatkan. Menguatkan keluarga, sanak saudara, kerabat, sahabat, fans, juga semua orang yang mencintainya.

Semua akan terasa baik-baik saja selama kita bersama, sendiri bukan berarti tidak ada yang mencintaimu, jika mata dan telingamu tidak ingin melihat atau mendengar siapa saja yang selalu ada untukmu, coba gunakan hatimu. Hati dan perasaan tidak pernah salah menilai siapa yang mencintaimu tulus.

Mental disorder pula terjadi bukan hanya karena dia merasa berat menanggung hidupnya, tapi karena lingkungan, haters, dan banyak yang lainnya. Dulu Jimin pernah mengalami hal ini namun tidak terlalu parah, dan itu yang membuatmu merasa ingin melindungi Jimin sekarang.

Kepercayaan diri Jimin dulu yang sangat rendah, selalu ingin dirinya tampil lebih baik lagi dan lagi sampai menyiksa tubuhnya, atau ketika sebuah ancaman pembunuhan yang tersebar luas di media. Beruntunglah, Jimin memilikimu, memiliki member dan juga agensi yang melindunginya.

"Jim.."

"Hm?"

"Saranghae."

"Nado."







=END=

BTS IMAGINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang