TAEHYUNG

1.9K 172 1
                                    

Aku menatap gadis yang tengah mendudukan diri di atas pasir. Bermain dengan patahan dahan dan membentuk acak pola pola kalimat. Terkadang sebuah gambar.

Sekitarnya sudah sampai satu jam dia menelefonku untuk bertemu. Tapi tidak ada sepatah katapun yang ia ucapkan.

"Kau baik-baik saja?"

"Iya." Jawaban yang sama seperti yang lalu.

"Berantem lagi?"

Wajahnya mendongak menghadapku yang duduk lebih tinggi di atasnya. "Kau tahu?"

"Kau tidak akan mencariku jika bukan masalah itu." Aku tersenyum getir mengingat kejadian yang menimpanya.

Dia bangun. Duduk bersandar di pembatas jalan tepat di sampingku.

"Aku lelah." Cicitnya yang masih bisa kudengar. "Entahlah, beberapa kali aku ingin akhiri hidupku jika aku tak punya teman sepertimu, Tae."

Keluarganya berada di ujung perpisahan. Beberapa kali terlibat pertengkaran besar yang berimbas pada dirinya.

"Kau tahu? Aku benci ucapanmu itu."

"Ya, aku juga Tae."

Aku mendengus sebal. "Hei."

Dia menoleh. "Aku rindu senyummu itu." Ku mengambil langkah untuk berdiri di hadapannya.

Tanpa disangka kedua manik matanya berkaca.

"Rindu tawamu ketika pulang sekolah."

"Hentikan Tae."

"Rindu kau ceritakan liburan keluargamu."

"Tae."

"Rindu kau membanggakan seberapa hebat ayahmu."

"Kim Taehyung, ku mohon."

"Rindu kau bercerita memiliki ibu yang luar biasa."

"TAEHYUNG!!" Airmata mengalir dari sudut mata kirinya.

"Menangislah." Ucapku yang akhirnya membuatnya menjerit pilu. Jujur, aku tidak suka wanita di belahan dunia manapun yang mengeluarkan airmatanya. Bukan berarti tanda mereka lemah, tapi tanda kalau beban yang mereka hadapi sudah tidak sanggup untuk mereka tanggung.

Aku meraih kepalanya mengarahkan pada tubuhku. Tidak peduli mungkin kaos putih ini akan basah oleh airmatanya. Yang terpenting, dia bisa meluapkan emosinya. Tidak seperti tadi. Duduk diam, ditanya jawab baik-baik saja.

Sebuah cengkraman terasa di punggungku.

"Aku benci Tae.." ucapnya disela isakan tangisnya yang cukup mereda.

Kubalas dengan elusan di kepalanya. Untuk saat ini, yang dibutuhkan adalah seorang pendengar yang baik.

"..kenapa semuanya terasa palsu." Lagi dia berdialog.

"Aku kira Appa sayang Eomma sebegitu besar Eomma sayang Appa."

"Tapi kenapa perkiraanku salah."

"Sekarang semua saling menyalahkan."

"Eomma pun benci aku yang lahir jadi anak Appa."

"Kemana keluargaku dulu yang penuh kasih sayang."

Aku masih terus mengelus kepalanya. Sesekali mencium puncak kepalanya masih menenangkan dirinya. Beruntunglah sore ini lalu lalang sepi.

"Aku.." dia menarik nafasnya. "..benci yang namanya keluarga."

Kupaksakan senyum mendengarnya. Ini miris, bagaimana anak menjadi korban kedua orangtuanya. Terlebih mereka yang menyaksikan langsung pertengkaran orangtuanya.

"Aku benci mereka Tae.. benci.."

Kuangkat perlahan wajahnya yang basah oleh airmata. "Kau punya aku di sini."

Pelupuk matanya kembali digenangi airmata. "Iya.." lirihnya. "Aku hanya punya kamu di sini.."

Kembali kupeluk dirinya. Mengucapkan jutaan kalimat penenang juga elusan di punggungnya.

Begitu tangisnya hanya menjadi isakan pendek. "Tae."

"Ya?"

"Jangan pergi.." Aku menaikan satu alisku mendengarnya. "Jangan pergi."

"Iya.." Masih kuusap rambutnya. Kueratkan pelukanku padanya. "Aku enggak akan kemana-mana."









=END=

BTS IMAGINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang