PARK FAMILY

2.3K 157 3
                                    

•••

Malam ini sepertinya akan jadi malam yang panjang bagiku dan Jimin.

Bukan malam suami istri seperti yang kalian bayangkan lho! Jangan berpikiran kotor deh.

"Mam, astaga! Biar aku aja." Aku secepat mungkin menjauhkan piring-piring kotor dari tangan ibu mertuaku.

"Gak apa. Kamu temenin Jimin aja." Jawab ibu mertuaku seraya membilas piring-piring kotor yang tadi kujauhkan dari beliau.

Malam ini kedua orang tua Jimin berkunjung ke apartemen kami. Katanya ingin sekalian jalan-jalan di kota. Aku pribadi jadi tidak enak karena sudah lama tak menjenguk mereka selama hampir delapan bulan ini.

"Mam, maaf ya kalo aku sama Jimin ga jengukin mama sama papa."

Aku berdiri di sebelah ibu mertuaku sambil merapikan piring yang sudah dibilas bersih. Kalau diingat lagi, aku ini sudah lama sekali tidak pulang ke rumah orang tuaku. Terakhir kali sekitar setahun lalu, aku dan Jimin hanya berkunjung ke rumah orang tua Jimin. Selain berkunjung, kami juga sedikit membantu di restoran kecil milik keluarga Jimin.

Rasanya ingin mengunjungi kedua orang tuaku, tetapi apakah bisa? Melihat jadwal Jimin saja sudah sepadat itu, bagaimana bisa dia membagi jam istirahatnya yang cuma beberapa jam hanya untuk menemani istrinya menemui orang tuanya. Ya memang Jimin tak akan menolak. Namun, aku tidak setega dan tidak seegois itu.

"Bee?"

Astaga, aku melamun?
Selama apakah aku melamun sampai tidak sadar kalau ibu mertuaku sudah selesai mencuci piring. Bahkan Jimin sekarang yang menggantikan posisi ibu mertuaku berdiri.

"Kamu sakit? Kok diem aja sih dari tadi. Sini coba aku cek dulu." Jimin beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menyentuhkan punggung tangannya di permukaan dahiku. Wajahnya menunjukkan raut aneh. Entah apa maksudnya.

"Kenapa, Jim? Muka kamu gitu banget deh."

"Ganteng?"

"Ih kepedean kamu."

"Ahahaha. Kamu kok makin gemesin sih. Jadi pengen gigit deh!"

"Nih gigit aja sampe puas." Tantangku sambil memberikan pipi kananku untuk digigit oleh Jimin. Baru saja Jimin hendak menggigit pipiku, ayah mertuaku dengan sengaja menggangu, "Ehem... tenggorokan Papa jadi kayak gurun sahara."

"Aduh, Pa. Eomma ditemenin dulu tuh. Kasihan sendirian." Jimin mencoba mengusir ayahnya dengan halus.

"Ya udah dilanjutin di kamar aja ya anak-anakku sayang. Nanti kalo Eomma yang lihat malah dia minta Appa rekamin kalian lho."

Aku memalingkan wajahku yang sepertinya memerah. Walaupun sudah suami istri sah, tetap saja malu kalau digoda seperti itu oleh mertua sendiri.

"Aku nemenin Mam aja. Besok rencana mau masak daging sapi nih. Permisi." Pamitku sebelum rasa malu semakin sengaja dipancing oleh ayah mertuaku.

Aku buru-buru duduk di sebelah Mam, "Habis kepergok lagi?" Tanya beliau ketika aku baru saja menghempaskan tubuh ke sofa.

"Ih, Mam! Aku sekarang makin yakin kalo Jimin emang nurunin jahilnya Mama sama Papa."

"Lagian si Jimin juga nih nempel terus sama kamu padahal tau ada Mama sama Papa. Sudah kalah saing sama istrinya nih Mama."

"Engga gitu, Mam. Prioritas nomor 1 tetap Mama sama Papa. Aku di sini sebagai pendamping hidup Jimin, biar disaat Mama Papa menikmati masa tua, Jimin ga lupa kalo punya orang tua yang sehebat ini."

"Mama pernah bilang kamu itu kesayangan Mama? Kalo belum, biar Mama kasih tau sekarang."

Aku tersenyum lalu memeluk Mam dengan hati yang berbunga. Ternyata tidak cuma anaknya saja yang bisa membuat salah tingkah, tetapi mamanya juga bisa. Aku jadi makin yakin kalau Jimin itu seratus persen gen unggul.

Tanpa aku ketahui dari mana arahnya, Jimin datang bersama Papa lalu melingkarkan kedua lengannya di leherku dari belakang. "Bee juga kesayanganku. Kecintaannya Park Jimin."

Jadilah wajahku makin memerah. Telingaku terasa terbakar karena tersipu. "Kapan mau meramaikan apartemen kalian?" Tanya Papa ketika Mama berpindah duduk di sampingnya.

Setelah Mam pindah, Jimin memutari sofa lalu duduk di sampingku. Ia merangkul pinggangku dengan sangat erat. Bahkan sekarang ia menjatuhkan kepalanya di atas pundakku.

"Jimin sama Jieun nanti pasti kasih kabar kalo udah ada perkembangan. Jieun lagi memastikan juga. Iya, kan?"

Aku mengangguk.
Sebenarnya aku agak malu kalau harus memberitahu ini di depan Papa.

"Aku udah telat sekitar seminggu. Semoga aja bukan karena kurang fit. Lusa rencananya kalo masih belum mau aku cek."

Raut wajah Mama dan Papa langsung berbinar ketika aku mengatakannya barusan.

Yah, semoga saja memang bukan karena aku yang sedang kurang fit. Semoga saja memang karena sudah ada calon Park Jimin kecil.

"Terus gimana, Jim?" Tanya Papa pada anaknya. Aku tahu Jimin pasti mengerti apa yang dimaksud ayahnya barusan.

Jimin bergerak semakin merapat ke tubuhku, "Aku udah coba lihat tanah sama rumah yang lokasinya strategis. Kemarin juga udah ke sana. Aku tawarin ke Jieun, katanya mau yang tanah aja karena dia mau desain rumah sesuai keinginan bersama."

Jimin berhenti sejenak, kembali melanjutkan setelah menegakkan tubuhnya. "Sejauh aku kontakan sama pihak kontraktor, mereka bilang bisa dalam setahun rumah itu jadi. Nanti semisal ada perubahan besar di desain berarti waktunya molor. Kalo Jieun positif, prediksi lahirnya bisa bebarengan dengan rumah kami selesai. Ya kira-kira begitu Pa, Ma. Doakan saja semuanya lancar."

"Apapun rencana kalian, kami sebagai orang tua pasti mendukung dan mendoakan. Kalo semisal kalian ada apa-apa jangan ragu bilang. Apalagi Jieun. Mama nih tau lho kamu suka mau tanya tapi masih aja malu."

Aku hanya bisa memamerkan gigi ke arah Mama. Sangat tepat sasaran perkataan Mama barusan.

"Sama Mama malu. Sama aku malu-malu mau." Aku dengan cepat mencubit perut Jimin. Enak saja bilang aku malu-malu mau. Memang dia tidak bisa mengaca? Mengatai orang padahal diri sendiri juga seperti itu.

"Kalo kamu ga malu-malu mau, nanti bisa repot lho." Papa menimpali.

"Lho kenapa bisa repot Pa?" Tanyaku penasaran. Memang ada hubungan apa antara sesuatu yang repot dengan malu-malu mau?

Sebelum Papa sempat mengutarakan maksud perkataannya, Jimin menyambar cepat, "Ya nanti ga ada Park Jimin kecil dong, Bee. Uuuh jadi gemes kan akunya." Jimin mencubiti pipiku tanpa ampun sambil memanyunkan bibir plumnya. Mungkin dia menganggap pipi ini merupakan seonggok squishy menganggur.

"Eeh.. Kalo mau sayang-sayangan di kamar sana! Jangan di depan orang tua. Duh, Pa diajarin yang bener anaknya biar ga sembarangan main sosor." Omel Mama yang mulai tidak tahan melihat Jimin bertingkah urakan di depannya.

===== the end =====

BTS IMAGINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang