•••"Jim, bangun yuk. Udah jam sembilan lho ini." Ujarku sambil memasuki kamar untuk mengambil beberapa pakaian kotor dari keranjang di sudut kamar kami.
Hari ini cucian tidak terlalu banyak. Syukurlah. Semoga saja bisa selesai sebelum siang sehingga aku bisa istirahat sambil menonton drakor lama yang sudah aku download beberapa waktu lalu.
Selagi merendam cucian hari ini, aku beranjak ke dapur membuat beberapa jus dari sisa buah yang tempo hari lalu Jimin beli.
Masih ada pisang dan apel di atas meja pantry. Sepertinya bukan jus yang akan kubuat, melainkan smoothie karena yang akan kuolah adalah pisang. Aku mempersiapkan blender dan juga bahan lainnya, dan tak butuh waktu lama banana smoothie-ku selesai.
Sekarang tinggal memotong-motong apel lalu akan kubawa ke kamar. Siapa tahu Jimin butuh dipancing agar mau membuka matanya.
"Jim, masih ngantuk?" Tanganku mengelus permukaan wajahnya yang tidak tertutupi selimut. "Kamu begadang sampe jam berapa tadi malam, hm?" Kali ini aku mulai menarik turun selimut dari wajahnya. Biar dia tidak keenakkan tidur sampai siang atau sore nanti.
Dengan suara serak khas orang setengah sadar dari tidur Jimin membalas, "Lima menit lagi ya, Bee. Kepalaku pusing banget ini."
"Kamu sakit kepala? Badan kamu sakit juga atau cuma kepala aja?" Tanyaku mencondongkan tubuh ke arahnya lalu mengecek dahinya dengan dahiku.
Tidak panas.
Tandanya dia tidak demam."Sakit kepala aja. Ini gara-gara kamu tau!"
"Lho kok aku, Jim?"
"Jangan suka muter-muter di pikiran aku dong, sayang. Aku jadinya pusing nih."
Aku tertawa geli. Ya mana ada sih aku muter-muter di pikiran dia. Kan aku dari tadi muter-muternya di rumah, bukan pikiran dia. Gombalan basi Park Jimin ya beginilah.
"Ya udah sini. Dokter Jieun sembuhkan dengan obat yang paling ampuh." Aku mengecup bibir Jimin cepat.
Ya anggap saja sebagai morning kiss. Soalnya tadi pagi aku belum sempat memberikannya saat aku bangun.
"Ga kerasa nih dokter. Kepalanya masih ada sakitnya. Coba agak dilamain dong, siapa tahu makin lama makin sembuh."
Jimin sama dengan bajaj. Demen ngeles.
"Kamu mandi dulu makanya! Sisa ayam semalem siapa tahu masih nempel. Aku ga mau ciuman sama ayam."
"Siap komandan! Dalam waktu lima menit prajurit Park akan siap melayani anda!"
"Nanti habis mandi langsung ke meja makan ya. Kita sarapan. Aku mau ngurus cucian dulu." Aku berlalu keluar kamar dan Jimin memasuki kamar mandi.
Memikirkan hidup berumah tangga bukanlah sesuatu yang buruk. Tetapi susah juga untuk dijalankan. Tidak begitu susah kalau suami dan istri saling cooperative. Beruntungnya, Jimin dan aku bisa mengatasi itu. Yah walau terkadang kami juga sering lepas dari tanggung jawab masing-masing. Namun, sampai detik ini kami selalu bisa menyikapi semua dengan kepala dingin.
"Bee, nanti aku mau keluar ya sama anak-anak. Mau nitip sesuatu?"
Jimin selesai dengan acara mandinya. Ia duduk di depan meja makan dengan sebelah tangannya mengeringkan rambut basahnya.
"Hm, apa ya?" Aku meraih handuk kecil di tangan Jimin lalu menggantikan kerja tangannya sambil berpikir minta dibelikan apa, "Nanti beli buah aja. Ini sisa yang kemarin udah habis aku buat smoothie. Ganti buah ya, jangan pisang sama apel lagi."
"Maunya apa?"
"Nanti aku kasih listnya ya. Sekarang sarapan dulu."
Aku sudah menaruh handuk tadi di kamar, seraya membawa potongan apel ke meja makan.
Jimin menarik kursi untukku duduk lalu aku akan menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan makannya. Tidak ada obrolan berat dalam setiap makan bersama kami. Hanya sekedar bertukar kelakar hingga hidangan kami habis. Aku mengurusi peralatan makan yang kotor dan Jimin akan merapikan meja makan lalu bersantai di sofa sambil menonton TV.
Ketika semuanya selesai, aku menemani Jimin duduk di sofa sambil menyuapi apel ke mulutnya. "Gimana aku ga makin subur kalo punya istri yang serajin ini."
"Kamu mau aku dibilang ga becus mengurus suami? Dimana-mana harusnya setelah nikah itu si suami bakalan makin berisi biar membuktikan kalo dia diurus dengan baik sama istrinya."
"Nah, harusnya juga setelah nikah si istri tuh makin endut juga. Biar tetangga kanan-kiri tahu kalo si suami emang tokcer."
"Ih, pagi-pagi udah bahas beginian. Bahas lainnya!"
"Wkwkwk.. kamu tuh masih aja kayak kita barusan nikah."
"Kamu juga! Masih aja sukanya godain aku. Udah tahu kalo aku malu ngomongin yang begitu."
Jimin memeluk dengan sebelah tangannya, lalu mulai membisikkan kata-kata cheesy. Seperti, "I love you.", "Thanks for being my wonderful woman after mom.", "You are mine.", dan blablabla lainnya.
"Kalo kita semisal ga nikah. Kamu bakalan nikah sama siapa, Jim?" Tanyaku random. Entah mengapa. Ingin saja tanya begini. Siapa tahu dia sempat menyesal menikahiku?
"Aku lebih baik ga nikah kalo misal ga bisa dapatin kamu. Lagipula siapa yang bakalan Appa sama Eomma percaya jadi pendamping anaknya kecuali kamu? Mereka tahu kalo aku pacaran sama kamu aja udah nanyain kapan berniat ngajak kamu nikah."
"Ah masa? Jangan suka buat cerita ngarang deh, Jim."
"Aku serius. Dari dulu kita sahabatan itu ga pernah Eomma ga berisik soal jadiin kamu pacar. Dulu aku ga mau jadiin kamu pacar karena takut putus dan bikin hubungan kita renggang."
Jimin mengambil nafas sejenak, lalu kembali menambahkan. "Waktu kamu cerita ditembak sama kakak kelas pemain basket itu jujur aja kamu udah bikin aku berniat gantung diri. Dengan santainya kamu cerita panjang lebar tanpa tahu ada puing-puing hatiku yang kamu hancurin. Sakit, Bee. Sakit."
Aku mencubit pipi Jimin lalu memberikannya kecupan sekilas, "Ulululuh, suamiku pernah sakit hati juga ternyata."
"Untung aja kamu pacaran sama itu manusia cuma bentar. Coba aja masih berlanjut satu hari.. udah deh. Hatiku resmi ditenggelamkan hari itu!"
"Kamu juga pernah pacaran sama mantanmu itu lumayan lama! Langgeng banget sampe bikin seantero sekolah heboh."
"Itu jauh sebelum aku sadar kalo hubungan kita ga bisa semulus cuma sahabatan. Jauhhh banget sebelum aku bisa yakin kalo aku beneran cinta mati sama kamu. Percaya ga?"
"Ga percaya." Ujarku sambil menatap matanya lekat, mencoba kebenaran atas apa yang dikatakannya.
"Apapun yang udah kita lalui selama ini. Mulai dari kita saling kenal di umur tujuh tahun sampai kita bisa terus-terusan satu sekolah, itu semua bagiku anugerah. Tapi, bisa ketemu kamu lagi setelah kuliah dan nikah sama kamu, bagiku itu emang takdir hidup kita. Apapun yang kamu dan aku pernah cintai di masa lampau, itu semua proses untuk kita bisa yakin kalo takdir kamu sama takdir aku itu buat terikat dalam pernikahan ini."
Jimin mengangkat tanganku lalu mencium cincin pernikahan kami dengan senyumnya yang sangat amat menawan.
"Kalo kamu ga bisa ada di samping aku sebagai istri, aku lebih milih nikahin Mama kamu."
"IH GA BOLEH!"
===== the end =====
KAMU SEDANG MEMBACA
BTS IMAGINE
RomanceKumpulan IMAGINE BTS x you Karya all admin BTS_WORLD . . . . Baca aja jamin gak nyesel deh p.s Mimin naronya asal, tapi nanti di akhir suka ada perapihan, jadi kalau mau tau sudah baca apa belom, tandain dengan vote atau comment yaa, sebagai penghil...