Chapter 76

3K 195 18
                                    

Mobil berjenis Porsche Cayene itu melenggang mulus melintasi jalanan Rochdale Rd ke arah utara hingga melewati Preswitch lalu beberapa saat kemudian berbelok ke arah timur laut memasuki wilayah Rochdale. Langit masih gelap, jalanan masih sepi hanya terlihat satu, dua buah truk terbuka bermuatan sayuran yang menyalip di sisi kanan mobil yang mereka tumpangi menuju pedesaan Birkenshaw yang letaknya searah dengan tujuan mereka.

Kenward duduk di kursi depan dengan raut tak terbaca. Matanya nyalang menatap jalanan aspal yang membentang lurus hingga jauh ke depan. Tangannya berpegang erat pada pegangan sisi dalam mobil bagian atas walau pada kenyataannya mobil tidak sedang melaju dengan kecepatan penuh meski ia sangat menginginkannya.

Kenward masih setia dengan kebisuannya sejak sepuluh menit yang lalu. Ia sama sekali tidak berkeinginan untuk menimbrung percakapan penuh kekesalan yang terjadi antara Nathan dan Ray.

Laki-laki itu, tanpa ia sadari, memunculkan aura mengerikan yang membuat baik Nathan maupun Ray tidak berani mengusik keterdiamannya. Mereka---Nathan dan Ray---cukup paham dengan apa yang sedang ada di pikiran Kenward dan cukup menyadari konsekuensi apa yang harus mereka tanggung jika saja mereka berani mengusik laki-laki itu saat ini.

Nathan berdeham pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti karena aura dingin semakin menyelimuti seisi mobil. Harus ia akui jika bulu kuduknya sedikit meremang karena hal itu.

"Pulau Palmerston. Pulau kecil, terpencil, dan terisolasi dari dunia luar. Ditemukan oleh William Palmerston. Tidak ada toko di sana ...," Nathan merendahkan nadanya seakan tak percaya. " ,... Hanya ada dua toilet umum untuk membersihkan diri dan juga mengumpulkan air hujan sebagai air minum merupakan sebuah keharusan. What the ... Apa ini?!" pekik Nathan di tengah-tengah penjelasannya. Ia bahkan tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya.

"Dan tidak ada penyulingan, jangan lupakan bagian itu," sahut Ray yang duduk di balik kemudi mobil. Laki-laki yang kini memiliki kantung mata hitam yang terlihat jelas itu kemudian kembali menghela napas pelan. Terlihat jelas jika Ray tengah berusaha mengendalikan emosinya yang rasanya sudah hampir meledak saja.

Nathan menggelengkan kepala tak habis pikir. Lalu jemarinya kembali menggulirkan layar ponsel dan melanjutkan membaca artikel yang dicarinya beberapa saat yang lalu melalui internet.

"Tidak ada jaringan telepon, listrik hanya menyala selama enam jam setiap hari, dan tidak ada bandara? For God Sake! Kita hanya bisa menggunakan kapal jika ingin sampai ke pulau itu dan ... Oh, it's so crazy! Kapal hanya singgah dua kali dalam satu tahun. Dua kali Ray, dua kali! Manusia mana yang mau tinggal di pulau seperti itu Ray?! Yang benar saja!" Nathan berteriak kesal. Rasanya ia ingin sekali menjambak rambut pemilik pulau menyedihkan itu hingga rontok tak bersisa. Ia gemas.

"Manusia gila." Ray menjawab dengan memukulkan sebelah tangannya ke atas kemudi. Ia kesal. Ia kesal atas rencana tak masuk akal ayahnya yang sialnya baru diketahuinya beberapa saat lalu melalui pesan singkat yang diterimanya dari Deve, kakaknya.

"Dan ayahmu menghendaki orang lain untuk merasakan kegilaan ini, Ray!" Nathan menyahut dengan nada penuh amarahnya.

Nathan lalu melemparkan ponselnya ke jok di sebelahnya hingga membentur kap mobil bagian dalam, kemudian ia mengacak rambutnya frustasi.

Di saat Jepang tengah gencar-gencarnya mengembangkan robot-robot canggih untuk memudahkan keseharian manusia di masa mendatang, di saat ia dan para eksekutif muda lainnya hampir semua memiliki pesawat beserta landasan pribadinya sendiri, dan di saat para peneliti tengah mempersiapkan perpindahan manusia ke planet lain yang lebih baik daripada bumi. Pulau seperti Palmerston dengan segala keterbatasannya ... Masih ada? Dan ... Dihuni?

Magdalena (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang