Ken mencengkeram pergelangan tangan Lena kuat. Menggandeng setengah menyeret tangan wanita itu keluar menuju halaman parkir perusahaan Dalton.
Lena sedikit meringis kesakitan. Menatap nanar pergelangan tangannya yang tengah dicengkeram kuat oleh laki-laki aneh yang berjalan satu langkah lebih cepat di depannya, membuatnya terpaksa untuk berjalan lebih cepat agar bisa mengimbangi langkah panjang laki-laki itu.
Sial! Ternyata cukup menderita memiliki kaki pendek sepertiku. Poor Lena.
"Masuk!" perintah Ken pada Lena saat keduanya telah berada di depan mobil Ken. Tanpa menunggu respon dari Lena, Ken membuka pintu mobil, sedikit mengerahkan tenaganya untuk mendorong tubuh Lena hingga wanita itu terhempas di kursi depan penumpang.
Setelah Lena berhasil masuk sepenuhnya ke dalam mobil, Ken menutup pintu mobil itu dengan kasar. Bergerak setengah berputar di depan mobil. Membuka pintu, mulai membawa tubuhnya masuk, duduk di kursi belakang kemudi, bersebelahan dengan Lena.
Ken mencoba menetralkan nafasnya. Menarik dan membuangnya secara beraturan. Ya, mau bagaimanapun diperlukan tenaga yang ekstra untuk sekedar melampiaskan atau meredam emosi yang menjalar di hati.
Lena diam membisu, memegang pergelangan tangannya, mengelusnya perlahan berharap agar tindakannya itu bisa sedikit mengurangi warna kemerahan yang tertoreh di sana.
Ken menoleh ke arah Lena. Melihat wanitanya itu tengah meratapi hasil dari perbuatan bodoh dan arrogannya tadi. Ken mendesah pelan. Menyesal. Menyesali perbuatannya, yang nyatanya berhasil menggoreskan sedikit luka pada tubuh wanitanya, pada tubuh yang mati-matian selalu ia jaga agar tidak pernah terluka sedikitpun.
Namun, lagi-lagi, dirinya sendirilah yang telah berhasil menorehkan luka di sana.
"Kau menyakitiku," lirih Lena tanpa memandang ke arah Ken.
Ken meraih pergelangan tangan Lena. Menciumnya sekilas. Mengelus pelan warna kemerahan pada pergelangan tangan itu.
"Maafkan aku. Aku hanya tidak suka jika kau terlalu dekat dengan Nathan seperti tadi. Apalagi saat melihat laki-laki itu menciummu," ucap Ken penuh penyesalan.
Ya, laki-laki itu memang tengah terbakar amarah beberapa saat yang lalu.
Bagaimana tidak terbakar, jika beberapa saat yang lalu, tepatnya setelah acara meeting dengan Dalton selesai, Ken meninggalkan wanitanya itu untuk pergi ke kamar kecil, mengeluarkan urin yang sedari tadi sudah memenuhi kantung kemihnya. Jangan tanyakan berapa lama Ken pergi, Ken hanya pergi meninggalkan wanitanya itu sekitar 10-15 menit.
Dan demi Tuhan, saat Ken kembali, ia sudah melihat Nathan tengah berbincang begitu dekatnya dengan wanita itu. Entah apa yang mereka bicarakan, Ken tidak tau pasti. Hanya saja yang bisa Ken tangkap dari gestur tubuh mereka, mereka nampak sedang membicarakan suatu hal yang menyenangkan, hingga membuat Lena sesekali tertawa dan tersenyum ke arah laki-laki brengsek itu.
Dan lagi, demi Tuhan, Ken tidak rela membagi senyum manis Lena itu pada laki-laki lain, apalagi jika laki-laki itu adalah rival-nya sendiri. Membuat kepala Ken terasa mendidih dalam sekejap.
Ken masih berusaha menahan emosinya dari tempatnya berdiri saat itu. Menatap dan mengamati gerak-gerik dua orang yang masih bercengkerama hangat di depannya. Ya, meskipun posisi Ken lumayan jauh, akan tetapi Ken masih bisa mengamati pemandangan itu dengan sangat baik. Sangat baik hingga saat laki-laki brengsek bernama Nathan itu mulai mendekatkan wajahnya pada Lena pun, hal itu masih bisa ditangkap dengan baik oleh indera penglihatan Ken.
Ya Tuhan. Ken merasakan emosi mulai kembali berkobar dalam dadanya, mengingat kejadian menyesakkan itu. Huft, tahan emosimu Ken. Jangan sampai kau menyakiti wanitamu, lagi.
Sementara Ken tengah berusaha mengendalikan rasa amarah yang mulai kembali berkobar, Lena, wanita itu menatap Ken dengan mengerutkan dahinya.
"Apa maksutmu?" tanya Lena.
"Apa maksutku? Kau bercanda, bukankah sudah sangat jelas maksut dari ucapanku tadi," jawab Ken tersenyum kecut.
"Kau salah paham, Mr. Ken yang arrogan," balas Lena tak mau kalah.
"Tidak. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," jawab Ken dengan penuh keyakinan.
"Memangnya apa yang kau lihat?" tanya Lena.
"Semuanya. Mulai dari kau yang sedang berbincang hangat dengan si brengsek itu. Hingga saat si brengsek itu mulai mendekatkan wajahnya pada wajahmu," kata Ken sinis.
Lena tergelak sesaat setelah mendengar penuturan Ken.
Ken mengerutkan keningnya, "Kenapa kau tertawa? Apa kau pikir ini semua lucu?"
"Ya. Hahaha... Kau sungguh lucu," jawab Lena, mencubit pipi Ken dengan gemas.
"Tidak ada yang lucu Magdalena."
"Haha... Baiklah-baiklah. Kalau begitu tolong dengarkan aku."
Ken mengangguk.
"Nathan tidak pernah menciumku, Ken. Dia hanya membisikkan sesuatu di telingaku," jelas Lena.
Ken mendengus kesal, "Jangan berbohong Lena. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."
"Tatap mataku. Apa aku terlihat sedang berbohong?" tanya Lena menangkup wajah tampan Ken dengan kedua tangannya. Membuat Ken, dengan terpaksa mempertemukan kedua iris mata cokelatnya pada mata biru Lena.
Ken menatap lekat dan menyelami mata itu beberapa saat. Dan nihil. Tidak ada kebohongan di dalam iris biru itu.
"Apa kau percaya padaku?" tanya Lena.
Ken menggedikkan bahunya. Membuang wajahnya ke arah lain. Menatap lurus area parkir di depannya.
"Oh ayolah. Apa kau masih mau merajuk padaku, setelah kau berhasil menyakiti pergelangan tanganku," ujar Lena.
Blam. Rasakan itu Ken. Lihatlah hasil dari tingkah lakumu yang arrogan itu, kau menyakiti wanitamu, sesal Ken dalam hati.
"Huft. Kasihan sekali tangan mulusku ini, tangan seputih kapas yang kini telah berubah warna menjadi merah. Poor Lena," cicit Lena. Memandang pergelangan tangannya dengan tatapan sendu.
Ken menyugar rambutnya ke belakang. Menghembuskan nafas kasar ketika mendengar cicitan Lena yang terdengar sebagai sebuah rintihan di telinganya.
"Baiklah. Maafkan aku, oke? Aku akan bertanggungjawab untuk luka itu," ucap Ken menyerah.
"Kau tau, ini menyakitkan. Kenapa kau kasar sekali," ucap Lena.
"Maafkan aku, kumohon. Aku menyesal. Harusnya aku bisa menahan emosiku tadi."
Lena mengangguk.
"Baiklah. Ayo kita pulang. Dan aku akan mengobati lukamu itu nanti."
Lena kembali mengangguk.
"Berbicaralah Baby. Jangan hanya mengangguk seperti itu. Katakan sesuatu," ujar Ken.
Lena masih diam.
"Oke. Bagaimana jika kita mampir sebentar ke cafe yang tempo hari kita datangi. Makan kue cokelat kesukaanmu sebelum kembali ke apartemen sepertinya menyenangkan," tawar Ken.
Laki-laki itu seperti tengah bermain judi sekarang. Ia hanya bisa pasrah mendengar jawaban Lena. Hanya ada dua kemungkinan, disetujui atau tidak. Hanya itu.
Hening sesaat.
Hanya suara deru mesin mobil yang beberapa kali terdengar di indera pendengaran Ken. Laki-laki itu tengah berharap-harap cemas, menunggu jawaban dari Lena. Yang sejak tadi belum mengeluarkan sepatah katapun.
"Oke," jawab Lena singkat. Mata itu mulai berbinar seperti semula.
Ken memang tidak pernah gagal dalam hal suap-menyuap.
"Good answer, Baby. Let's go," ucap Ken.
Ken mengecup pipi Lena sekilas sebelum tangannya mulai bergerak menyalakan mesin mobilnya. Melesat dengan kecepatan sedang meninggalkan halaman parkir kantor Dalton.
***
TBC29-09-2018

KAMU SEDANG MEMBACA
Magdalena (END)
RomanceRomance Story 18+ | Copyright ©2018 | Follow Sebelum Membaca ••• Plakk!! Sebuah pukulan diberikan oleh Lena kepada laki-laki yang tengah sibuk dengan fikiran mesumnya itu, "Tidak usah berpikiran macam-macam. Yang dimaksud Abey, susu formula, bukan...