Chapter 82

3.5K 173 0
                                    

Magdalena menghela napas beratnya. Mengurangi sedikit rasa sesak yang sejak tiga hari yang lalu memenuhi rongga dadanya. Semuanya terasa berat, meski ia tahu ada pihak lain yang merasakan hal yang sama dengan yang dirasakannya, atau bahkan lebih.

Entahlah, rasanya waktu tiga hari yang ia dapatkan sangatlah kurang. Tapi, ia pun sadar, bahwa ia harus segera mengatakan kebenarannya. Menunda penjelasan dan menambah lama waktu penuh kesakitan yang dilalui oleh orang lain ... Rasanya Magdalena tidak akan setega itu, meski ia ingin.

Magdalena merenungkan kembali apa-apa saja yang harus dan tidak ia ceritakan nantinya. Memilah kata-kata yang pas, dan merangkainya dalam benak, agar nanti ia tidak salah berucap yang berpotensi menambah kesakitan hati. Sebisa mungkin, ia akan sangat berhati-hati nantinya karena ia tidak ingin menambah rasa sakit orang lain.

Membuka kembali tabir hitam yang selama ini disimpan seorang diri oleh sahabat yang teramat disayanginya. Magdalena tahu, itu tidaklah mudah. Tapi, seperti yang seharusnya, Magdalena akan menceritakan apa yang ia ketahui, meskipun ia tahu tidak banyak hal yang diketahuinya, tapi semoga saja itu dapat membantu atau lebih tepatnya meringankan rasa sakit orang lain.

Magdalena menatap awan yang tengah berarakan di atas sana. Memejamkan mata, Magdalena berbisik dalam hati. Semoga aku tidak menambah kesakitannya, Rose. Semoga dia bisa merelakanmu dan menjalani hidupnya, meski tanpamu, di sisinya. Dan sejurus dengan itu, air mata kesedihan menetes. Akibat rasa hati yang teriris perih.

Kembali lagi, kehilangan sahabat yang teramat disayangi tidaklah mudah. Dan meski bertahun telah berlalu, nyatanya, Magdalena masih memiliki sedikit keinginan di dalam hatinya. Tentang sebuah impian, harapan, dan angan-angan bahwa kelak di suatu masa ia akan berkumpul di halaman mansion Dalton yang luas, menikmati aroma teh dan harum muffin yang baru keluar dari dalam pemanggang, dengan iringan terik matahari, angin yang berhembus pelan, dan suara tawa berderai anak-anak kecil.

Magdalena kembali meneteskan air matanya. Ia menggigit bibir bawahnya menahan isakan yang rasanya ingin lolos begitu saja dari dalam mulutnya. Menangisi sang takdir yang begitu kejam. Yang tanpa belas kasihan merenggut salah satu bagian dari hidupnya yang memiliki posisi istimewa dalam hatinya. Yang dengan teganya, menghancurkan sebuah mimpi sederhana yang telah terlukis indah dalam angannya.

Satu hari penuh kebersamaan. Bertemankan kebahagiaan dan keceriaan anak-anak kecil yang berlarian mengitari halaman dengan rumput hijau yang telah terpangkas rapi. Obrolan santai dan senyuman hangat dalam setiap sudutnya. Canda, tawa, bahkan kalimat penuh ejekan dan tingkah penuh kejahilan sebagai cerminan bahwa mereka saling menyayangi dan menjaga dengan cara masing-masing. Satu hari dimana akan ada masing-masing dari mereka beserta keluarga kecilnya.

Hana, Dirinya, dan Roseline ...

Magdalena meluruhkan tubuhnya ke lantai. Bersandar pada pagar balkon yang terasa kokoh, berbanding terbalik dengan hatinya yang terasa rapuh. Air mata mengalir deras, pukulan ringan diarahkannya ke arah dada berusaha mengurangi rasa tak menyenangkan yang kini merajai hati dan rongga dadanya. Magdalena menghirup napas dalam-dalam tatkala rasa tak menyenangkan itu tak kunjung berlalu. Justru semakin mencekiknya kuat.

Ketika kenyataan kembali menamparnya dengan telak. Ketika logika menyeretnya dengan kasar ke dunia nyata. Bahwa tidak akan ada lagi impian sederhana di suatu masa itu. Satu hari penuh kebahagiaan dan bertemankan kebersamaan, tidak akan pernah ada.

Tidak akan ada sosok Roseline seperti apa yang tertuang dalam angannya.

Magdalena terisak keras saat ia merasakan dekapan hangat melingkupi tubuhnya. Memeluknya erat penuh kasih sayang. Mengusap punggungnya pelan berusaha meringankan beban yang ditanggung oleh rasanya.

Magdalena (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang