Senja sudah terlihat semakin tinggi di langit. Sore menjelang malam, Elang baru saja sampai dirumahnya. Elang memarkirkan motor Harley miliknya disamping rumah. Elang berjalan tidak peduli dengan dua mobil yang ada di sana.
"KAMU ITU SEORANG ISTRI DAN IBU HARUSNYA DIRUMAH SAJA MENGURUS RUMAH DAN ANAK BUKAN BEKERJA. BIAR AKU AJA YANG CARI UANG. KAMU CUKUP URUS RUMAH DAN URUS ELANG, ANAK KITA!!!"
"UDAH AKU BILANG AKU JUGA MAU KERJA. KAMU PIKIR DIEM DIRUMAH AJA ITU ENAK. AKU JUGA MAU BEBAS!!"
"KECILKAN VOLUME SUARAMU, DIANA!! AKU INI SUAMIMU. HARGAI AKU!!"
"AKU AKAN HARGAI KAMU KALAU KAMU HARGAI AKU!!"
"APA SIH YANG KAMU DAPAT DARI PEKERJAAN KANTORMU? UANG? AKU SUDAH BERI KAMU UANG YANG BANYAK!! KAMU CUKUP URUS ELANG SAJA!!!"
"ELANG SUDAH BESAR TIDAK PERLU DIURUS!! DIA BISA URUS DIRINYA SENDIRI!"
Melihat Fredy dan Diana sedang debat dengan suara tinggi dari keduanya. Diantara keduanya tidak ada yang mau mengalah. Egois, ya itulah kedua orang tuanya. Selalu ingin didengar tetapi ingin mendengar. Ingin dimengerti tapi tidak mampu mengerti. Ingin dihargai tapi tidak tau cara menghargai.
Elang membuang muka pada bingkai-bingkai foto keluarganya yang dulu masih harmonis sebelum jabatan Mamanya lebih tinggi dari jabatan Papanya. Bukan ia takut menjadi korban egois kedua orang tuanya, tetapi ia sudah bosan mendengar perdebatan kedua orang tuanya yang tak pernah berhenti. Terkadang Elang lebih memilih orang tuanya tidak pulang kerumah, sibuk berbisnis diluaran sana daripada ada dirumah tetapi ia hanya mendengar pertikaian antara keduanya.
"Elang!" Papanya memangilnya sehingga langkah kakinya terpaksa berhenti. Elang diam, tidak juga menoleh. "Kemari kamu!"
Elang menoleh. Keduanya terkejut melihat wajah gosong Elang. Papanya mendekat dengan diikuti Mamanya.
"Darimana kamu? Kenapa wajahmu gosong?" Tanya Papanya.
"Buat apa Papa peduli." Jawab Elang tak sopan, terdengar menantang.
Tanpa pikir panjang Papanya menampar pipinya dengan kasar. Sudah biasa, itulah yang dirasa Elang. Seluruh badannya sudah siap mendapatkan perlakuan kasar kembali dari orang tuanya setelah seminggu yang lalu keduanya pergi.
"Kamu lagi bicara sama siapa? Kurang ajar!" Bentak Papanya. Ia mencengkram kerah jaket hitam Salvatra hingga kerah baju sekolahnya ikut terangkat. Elang sedikit kesusahan untuk bernafas.
"Sama siapa?" Bentak Papanya lagi.
Sorot mata berapi terpampang jelas diwajah Papanya.
"Kamu ini tidak punya tata krama sekali, Elang." Ikut Mamanya menyalahkan dirinya.
"Apa kamu tidak bisa membuat kami bangga, Elang. Bukan dengan sikap seperti tidak pernah diajarkan orang tua saja kamu ini." Omel Papanya lagi lebih keras.
Tidak ada perlawanan dari Elang. Semua yang terjadi saat ini sudah dirasanya sejak ia kecil. Membuatnya tidak terkejut dengan penyudutan orang tuanya. Dimata orang tuanya Elang tak pernah benar, ia selalu salah. Orang tuanya tidak pernah ada untuknya, selalu sibuk dengan berbagai bisnis mereka. Kalau Elang bersikap tidak sopan, karena memang dirinya tidak pernah diajarkan sopan santun oleh orang tuanya. Yang diperlihatkan orang tuanya hanyalah perdebatan, pertengkaran, pertikaian. Lebih fatal lagi, kekerasan.
Papanya menarik Elang kebelakang memberi ruang agar lebih leluasa menyiksa anak semata wayang mereka. Akhirnya tangan Papanya terlepas dari kerah baju sekolah Elang. Papanya memaksa dirinya melepas jaket hitamnya. Sabuk hitam yang melingkar dipinggang Papanya dilepas. Belum lima detik Elang bernafas, punggungnya sudah tercambuk dengan sabuk. Tubuhnya menempel pada tembok mencari kekuatan dengan menahan rasa pedih dipunggungnya.
Bukan menghentikan suaminya, Diana sebagai Mamanya Elang hanya diam melihat anaknya yang sudah ia kandung 9bulan. Ia susui, ia rawat melihat anaknya dicambuk dengan keras oleh suaminya. Tidak ada rasa iba ataupun sedikit kasihan melihat Elang diperlakukan bagaikan binatang seperti itu.
"Makanya kamu itu harus punya tata krama yang baik, Elang. Biar Papa kamu gak marah." Ujarnya menyudutkan bukan membela atau melepas anaknya.
Papanya berhenti. Elang menoleh dan memperlihatkan tatapan sinis pada kedua orang tuanya.
"Apa kamu liat begitu?" Tanya Mamanya dengan menampar keras pipi Elang.
"Udah puas lampiasin kemarahan kalian?" Tanyanya dengan tatapan tetap sinis.
Papanya melihat jam tangan yang melingkar ditangan kirinya. Kemudian pergi meninggalkan Elang dan Mamanya.
"Kamu mau kemana, Mas? Urusan kita belum selesai." Mamanya ikut pergi meninggalkan dirinya menyusul Papanya untuk melanjutkan perdebatan mereka.
Elang menatap sinis kedua punggung orang tuanya. Ia mengambil jaketnya yang sudah diinjak-injak kedua orang tuanya.
Elang masuk kedalam kamar dan mengunci diri didalam kamar. Ia menjatuhkan dirinya diatas kasur dengan posisi telengkup. Rasa pedih dipunggungnya begitu terasa. Elang melepas baju sekolahnya. Ia berjalan pada cermin besar yang ada dikamarnya untuk kembali melihat punggungnya.
"Cihh..."
Alasan utama Elang menyetujui bergabung dengan Salvatra adalah untuk melampiaskan rasa marah dan dendamnya pada kedua orang tuanya melalui Chicago. Saat tauran ia dapat melepas rasa dendam disiksa oleh kedua orang tuanya pada orang lain. Kalau sudah tauran, Elang selalu dengan tangan kosong. Ia memukul, menendang, ataupun mencekik lawannya sebagaimana orang tuanya memperlakukannya. Pada awalnya ketua Salvatara sebelumnya, menginginkan Elang untuk menjadi ketua karena kebuasan Elang. Tetapi Kibum menginginkan jabatan sebagai ketua dan mereka menyetujui. Elang dan Kibum, tidak lah beda. Mereka sama-sama brutal, buas dan sangar.
Ketika balapan Elang dapat melampiaskan kemarahannya melawan angin-angin yang terus melawan tubuhnya diatas motor. Angin saja kalah dengan Elang. Ia ingin angin tau kalau dirinya sedang marah, ia ingin ditemani angin melawan rasa marahnya pada kedua orang tuanya yang selalu melampiaskan rasa kemarahan mereka pada dirinya.
Ia melihat foto Salvatra. Pandangannya tertuju pada bingkai besar berisikan dirinya dengan keenam temannya didalam foto itu mereka berlagak sebagai jagoan dengan tubuh berbalut jaket parasut Salvatra. Mereka ingin diakui.
"Salvatra. Keluarga sesungguhnya. Thanks mau nerima gue!"
---SALVATRA---
bersambung...
06Des2019
KAMU SEDANG MEMBACA
GENG SALVATRA [Vis. SEVENTEEN] [TERBIT]
Fiksi RemajaAlasan pelangi memiliki 7 warna karena mewakili 7 anggota Salvatra. Setiap anggota mewakili satu warna pelangi. Begitu pun hidup mereka yang memiliki warna tersendiri. Pernahkah kalian merasa--- Tidak dapat melihat? Kekerasan? Di buang? Tak seda...