Eleven

64 20 0
                                    

Hari ini adalah hari pertama ujian kenaikan kelas. Aku hanya pasrah. Akupun tak tau apa yang aku harus isi nanti di kertas ujian.

Jangan bilang kalau aku tidak berusaha. Aku berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Aku ingin membuktikan kepada orangtua ku kalau aku tidak lemah dalam pelajaran.

Tapi hasil ujian ini tidak menentukan kesuksesanku, aku merasa ini bukan bakatku. Semua orang punya bakat masing-masing, bukan? Namun bukan berarti aku harus menyerah pada ujian ini. Aku pun meyakinkan diriku sendiri, apapun hasilnya, aku sudah berusaha mendapatkan hasil itu.

"Appa, Eomma, mianhae. Maafkan aku jika kalian belum puas dengan hasilku nanti. Tapi percayalah, aku sudah bekerja keras dengan ini. Ku harap kalian mengerti." Batinku.

Ketika aku sedang menyemangati diriku sendiri, aku melihat Jimin datang ke arahku.

"Taehyung-ah, apa yang kau lakukan sendiri disini?" Tanyanya sambil menepuk pundakku.
"Ani, aku hanya bingung. Apa yang harus aku isi nanti." Jawabku sambil memiringkan kepalaku.
"Aigooo.. lihatlah. Kau sekarang memikirkan nilai. Kau bukan lagi Taehyung yang masa bodoh dengan nilai." Ucapnya sambil memainkan daguku dengan jari-jari pendeknya.
Aku hanya terdiam.

"Taehyung-ah, kau sudah berusaha keras. Aku yakin kau bisa melewati ujian ini dengan mudah. Aku percaya kau bisa. Tidak perlu hasil yang maksimal, kau hanya perlu melewati ujian ini. Hwaiting, Taehyung-ah!" Ujarnya memberiku semangat, ia juga merangkulku. Ia menyemangatiku seakan ia tidak butuh menyemangati dirinya sendiri. Padahal aku tau ia sangat khawatir dengan hasilnya nanti. Ia takut mengecewakan Appanya dan membuat nama Appanya jelek.

"Ya, Jimin-ssi. Berhenti menyemangatiku. Kau yang harusnya menyemangati dirimu sendiri. Percayalah pada dirimu sendiri, kau juga sudah bekerja keras. Hwaiting, Jimin-ahh!" Ucapku menyemangatinya balik dan menepuk pundaknya.

"Ne, Taehyung-ah. Berterimakasihlah padaku. Walaupun kau bodoh, aku tetap ingin berteman denganmu." Ujarnya bercanda. Kami pun tertawa bersama.

"Yaaaa! PARK JIMIN! KIM TAEHYUNG!" Teriak seseorang tiba-tiba.
"Aish! Kau mengagetiku, Yoori-ya!" Gerutu Jimin.
Aku tersenyum melihat kedatangannya.

"Apa yang sedang kalian lakukan disini? Saling menyemangati, eoh?! Woaaah jinjja, kalian kejam. Kalian lupa denganku." Gerutunya. Aku dan Jimin pun tertawa melihatnya. Kami lupa punya teman bodoh yang satu ini.

"Ah, sudahlah. Lupakan." Ucapnya lalu duduk dibangkunya dan menengok ke arah Jimin, serta berkata "Jimin-ah, fighting!" Serta mengeluarkan love sign dari jarinya.
"Diamlah! Kau sangat menjijikan." Jawab Jimin dengan nada kesal dengan maksud bercanda. Yoori mengabaikannya.

"Taehyung-ah, kau juga. Fighting!" Ucapnya tiba-tiba yang membuat jantungku ingin loncat dari tempatnya.
"Aish! Aku tidak butuh!" Jawabku untuk menutupi kecanggungan ini.

"Kau berdua sungguh sudah bosan hidup." Ujar Yoori sambil melemparkan tatapan mematikan kepadaku dan Jimin. Aku hanya menjulurkan lidahku ke arahnya dan Jimin mengacungkan jari tengahnya.

Percayalah, aku benar-benar butuh kata penyemangat darinya. Dan sekarang aku senang mendengar kalimat itu keluar langsung dari mulutnya.
.
.

Waktu berjalan, hari berganti. Tak terasa hari ini adalah hari pengumuman hasil ujian kenaikan kelas.

Aku sudah bersiap diri. Mengikhlaskan apapun hasilnya. Aku meyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku melirik ke arah Jimin, ia sedang menyembunyikan rasa paniknya. Aigo, aku kasihan pada Jimin. Ia selalu ingin mendapat nilai tinggi agar tidak mengecewakan orangtuanya, terutama Appanya. Ia tidak ingin membuat Appa nya malu memiliki anak bodoh, karena Appanya pemilik sekolah ini. Padahal menurutku, ia tidak perlu melakukan itu.

Can we?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang