Eighty Eight

49 15 5
                                    

Ternyata aku benar. Taehyung menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tau semua yang ia lakukan untuk membahagiakanku. Tapi bagaimana pun juga ia tidak bisa membuat suatu keputusan besar tanpa persetujuanku. Bahkan ia malah bilang aku yang egois.

Entah mengapa aku begitu emosi. Ia menyembunyikan sesuatu dariku dan membuat suatu hal yang penting tanpa persetujuanku. Yang benar saja.

"Taehyung-ah, tadi siang sudah aku katakan padamu. Aku akan marah jika kau menyembunyikan sesuatu dariku yang menyangkut tentang diriku. Dan ternyata kau benar-benar menyembunyikannya." Ucapku dengan nada yang sangat kecewa.

"Ara. Aku tau kau marah padaku. Tapi aku sudah lama sekali merencanakan ini hanya untukmu. Aku ingin hubungan kita berjalan ke arah jenjang yang lebih serius." Ujarnya dengan lembut. Tapi sayangnya aku tidak luluh.

"Kita bukan lagi anak kecil. Lagi pula sudah ku katakan padamu, aku masih ingin mengejar cita-citaku. Aku ingin bekerja dan sukses." Jawabku dengan datar dan menatapnya sinis.

"Apa kau akan menolakku?" Tanyanya sambil menatap mataku lekat.
"Eoh! Batalkan semuanya!" Bentakku.

Aku tidak bisa seperti ini. Aku sama sekali belum siap untuk menjalankannya.

"Yang benar saja! Aniya! Aku tidak akan membatalkannya. Kau sedang emosi, jangan mengambil keputusan jika kau sedang marah!" Ujarnya dengan wajah terkejut, suaranya yang naik satu oktaf itu membuatku terdiam sesaat.

"Aku belum siap!" Bentakku.

"Tidak bisakah kau berbicara padaku tanpa membentakku?!" Ujarnya sambil mencengkram tanganku kesal. Aku membuang wajahku darinya, menatap ke arah lain. Sama sekali tidak berani menatap matanya.

Ia menarik daguku agar aku menatap matanya, "Dengarkan aku. Kita hanya bertunangan, bukan menikah. Aku akan membiarkanmu untuk mencapai cita-citamu. Tujuanku bertunangan denganmu adalah untuk mengikatmu sebagai calon istriku yang sah." Ucapnya dengan datar, suara rendahnya itu semakin membuatku takut ditambah matanya yang melekat pada mataku. Jantungku berdegup dengan kencang.

"Sudah ku katakan aku tidak siap. Kau tidak bisa memaksaku! Seharusnya kau bicara padaku dari awal agar ini semua tidak terjadi!" Jawabku sambil mendorong tubuhnya menjauh dariku.

"Kau! Kau benar-benar wanita berhati beku!" Bentaknya dengan keras. Membuatku memundurkan sedikit badanku menjauh darinya, aku sangat terkejut.

"Kau membentakku?" Tanyaku dengan datar.

"Eoh! Sekali-kali kau harus dibentak agar kau sadar jika perbuatanmu salah. Kau sama sekali tidak tau terimakasih." Ucapnya. Dan itu mampu menusuk jantungku begitu dalam. Kata-katanya seperti pisau yang menancap dadaku.

Sakit.

Aku menyipitkan mataku sambil menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Mwo?!" Tegurnya.

"Bisakah kau menghargaiku kali ini? Aku juga punya keputusanku sendiri. Kau tidak bisa seenaknya membuat keputusan seperti itu. Pertunangan? Jenjang yang lebih serius? Jika kau ingin serius padaku, seharusnya kau membahas tentang pertunangan ini terlebih dahulu denganku. Aku ini yang akan jadi tunanganmu! Bagaimana bisa aku tidak tau tentang pertunanganku sendiri?!" Ujarku dengan geram.

"Aish!" Bentaknya sambil memukul stir mobil yang tepat berada di depannya. Aku sedikit terkejut.
"Jika kau ingin dihargai, maka hargailah orang lain terlebih dahulu!" Ucapnya, dengan begitu ia keluar dari mobil dan menutup pintunya dengan keras.

Paboya, apa yang aku lakukan sehingga membuatnya sangat marah seperti itu? Aish!!

Aku menjambak rambutku frustasi, membenturkan kepalaku dengan kasar ke dashboard didepanku.

Can we?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang