Gadung Lelono dan Pandan Selasih terus berkuda menyusuri jalan setapak. Terdengar suara-suara gemeresik mengiringi mereka. Suara itu datangnya dari semak belukar yang gelap di sepanjang jalan.
Lasih berpaling ke arah Gadung Lelono.
"Ada... ada yang mengikuti kita, Paman?" ujar Lasih cemas.
Gadung Lelono mengangguk kecil. Tiba-tiba ia menghentikan kuda mereka. Prajurit itu memandang berkeliling dengan waspada. Tangannya menggenggam obor lebih erat.
Suasana hening. Bunyi gemeresik ikut berhenti.
Pandan Selasih melihat ke kanan-kirinya, namun yang ada hanya kegelapan dan kesunyian. Lututnya mendadak gemetar tanpa bisa dicegah.
Sementara itu Gadung Lelono memandang ke depan, ke jalur sempit yang akan mereka lalui.
"Kita jalan lagi, Nak," bisik prajurit itu.
Pandan Selasih mengangguk-angguk.
Kuda mereka kembali berlari kecil. Dan sesaat kemudian suara berkerusak terdengar lagi. Maka, setelah beberapa langkah maju, Gadung Lelono menghentikan si kuda kembali. Namun suara-suara di kegelapan itu ikut berhenti juga. Mata tajam Gadung Lelono mengawasi kekelaman di sekitar mereka. Tapi pekatnya hutan itu tetap sunyi.
Setelah itu, sampai sebegitu lama dan jauh, dengan berhenti beberapa kali, tak ada sesuatu yang muncul dari kegelapan. Suara-suara itu hanya mengiringi mereka saja. Entah apa yang dipikirkan oleh Gadung Lelono, tapi untuk Pandan Selasih, anak perempuan itu tak bisa memutuskan apakah ia harus merasa takut atau lega. Sebab, meskipun perjalanan mereka diiringi oleh sesuatu, tapi kenyataannya belum terjadi apa-apa yang membahayakan.
Akhirnya mereka tiba di ujung jalan setapak. Mereka menjumpai jalan yang lebih lebar. Obor-obor yang diikat miring pada pepohonan menerangi tempat itu. Terlihat ada sebuah kereta kuda serta sejumlah orang berpakaian seragam, bersenjata tameng dan tombak. Kelihatannya mereka adalah para prajurit. Melihat kemunculan Gadung Lelono dan Pandan Selasih, orang-orang itu segera berdiri siaga. Salah seorang dari mereka mendekat.
"Kakang Gadung Lelono, syukurlah Kakang sudah tiba," katanya. "Tampaknya Kakang tiba lebih awal dari perkiraan."
"Ya, kami terpaksa naik kuda bersama-sama, supaya lebih cepat.," sahut Gadung Lelono. "Sebab ada kejadian yang tak terduga..."
Belum sempat mereka berbicara lebih banyak, mendadak terdengar gemeresik keras dari semak-semak. Beberapa makhluk berbulu hitam berlompatan keluar. Jumlahnya mencapai puluhan. Makhluk-makhluk tadi langsung mengepung orang-orang yang ada di situ.
Pandan Selasih terkesiap. Ia ternganga menyaksikannya. Makhluk-makhluk itu mirip anjing hutan besar, atau mungkin serigala, hanya saja mereka berkaki enam! Makhluk-makhluk itu menggeram-geram, merendahkan tubuhnya, terlihat bersiap-siap untuk melompat dan menerkam.
Gadung Lelono dan orang-orang itu tak kalah kagetnya. Mereka terpana menyaksikannya.
"Demi malam yang gelap, itu Neman, serigala berkaki enam! Kukira mereka hanya ada dalam dongeng," desis Gadung Lelono dengan mata membelalak.
Sekejap kemudian pecahlah pertarungan. Neman-Neman itu meraung dan menyerang orang-orang yang ada di situ.
Gadung Lelono melompat turun dari kuda. Ia memutar-mutar obornya. Tampaknya benda itu bukan sekadar obor, melainkan sebuah senjata seperti gada. Seekor Neman melompat ke arahnya. Dengan sigap Gadung Lelono berkelit dan menghantamkan senjatanya, tepat mengenai perutnya. Neman itu terjungkal, tapi binatang itu cepat bangkit lagi dan mengambil ancang-ancang untuk kembali menyerang.
Pandan Selasih masih berada di atas kuda. Meskipun ia bukan seorang prajurit, tapi ia bisa melihat pertarungan itu akan dimenangkan oleh siapa. Neman-Neman itu cukup banyak, terlihat beringas dan tampak terlalu tangguh bagi mereka semua!
Tampak para prajurit tidak bisa bergerak selincah para Neman. Seekor Neman berhasil menggigit pundak salah satu prajurit, membuat si prajurit langsung jatuh terkapar. Gadung Lelono melompat ke arah mereka dan menghantamkan gadanya ke kepala si Neman. Gigitannya terlepas, si Neman menyingkir sedikit, namun prajurit yang terkapar itu tidak bangun lagi.
Sementara itu prajurit-prajurit yang lain, dengan cepat, mulai terkapar satu persatu. Mereka berteriak-teriak kesakitan diterkam Neman yang menggigit bagian-bagian tubuh mereka.
Di sisi lain beberapa Neman bergerak merubung Pandan Selasih dan kudanya. Anak itu menegang. Neman-Neman itu menggeram di sekelilingnya, bersiap-siap menerkam. Tapi kuda tunggangan Pandan Selasih tampaknya cukup terlatih untuk bertarung. Ia menggerak-gerakkan kakinya, seakan siap menghadapi serangan.
Benar saja, ketika seekor Neman melompat menyerang, makhluk berkaki enam itu langsung disambut dengan sepakan kaki kuda yang tepat menghantam moncongnya. Neman itu terjungkal. Tapi gerakan kuda itu membuat Pandan Selasih kehilangan keseimbangan. Ia oleng dan terjatuh.
Beruntung Gadung Lelono berada tak jauh darinya. Dengan sangat cekatan lelaki itu berhasil menangkap Lasih.
"Paman!" pekik Lasih tertahan.
Gadung Lelono dan Pandan Selasih melihat sekeliling mereka. Dalam waktu yang singkat seluruh prajurit telah bergeletakan. Bahkan dua ekor kuda penarik kereta, keduanya juga terkapar digigit gerombolan Neman. Keretanya pun terguling. Saat ini tinggal Gadung Lelono, Lasih, dan kuda mereka saja yang tersisa.
Neman-Neman itu menggeram, menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi mereka yang tajam.
"Mereka mengepung kita, Paman!" seru Pandan Selasih panik.
Seekor Neman melompat ke arah Gadung Lelono.
Bukkk!!
Gadung Lelono berhasil menghindar, sekaligus memukul Neman tadi dengan gada obor di tangannya. Si Neman terpekik, terjungkal, namun segera bangkit lagi. Kuda mereka juga berhasil menyepak seekor Neman lagi yang menyerang. Tetapi dengan jumlah yang sama sekali tidak seimbang, tampaknya kekalahan mereka hanya tinggal menunggu waktu yang tak lama.
"Oh, pergi kalian semua! Pergi! Jangan ganggu kami. Enyah kalian dari sini!!" jerit Pandan Selasih pada Neman-Neman itu. Anak perempuan itu sudah tak tahan lagi pada rasa takutnya.
Rupanya teriakan Pandan Selasih itu bermakna. Geraman-geraman para Neman itu tiba-tiba merendah, bahkan berubah menjadi dengkuran lembut. Mereka menjadi seperti anjing-anjing yang patuh dan jinak. Makhluk-makhluk itu juga tidak lagi bersiaga, bahkan pelan-pelan bergerak mundur. Lalu, tanpa diduga, Neman-Neman itu berbalik dan melompat pergi ke dalam semak-semak. Kejadiannya berlangsung begitu saja, membuat Gadung Lelono dan Pandan Selasih melongo. Mereka berdua terdiam, dan baru tersadar ketika kuda mereka meringkik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...