Burung-burung Dok Wisanaka membanjir dari angkasa menuju pekarangan Istana Hinggiloka, menukik, menderu.
Tiba-tiba kawanan Satwatiron itu terpencar ke segala arah sebelum sampai ke bawah. Ada sosok-sosok besar bersayap yang menerjang mereka dengan kuat. Sosok-sosok tadi berjumlah puluhan, mengepak-ngepakkan sayapnya, meluncur ke sana kemari menabrak kawanan Dok Wisanaka. Akibatnya mereka bercerai-berai, terbang tak tentu arah.
"Itu? Kuda-kuda bersayap. Pasukan kuda sembrani?" ujar Pangeran Arcapada ternganga.
"Benar, Nak. Itu mestinya pasukan bantuan dari Kerajaan Sabrang Segara. Akhirnya bantuan dari Ratu Sharon datang juga. Pasukan kuda sembrani tanpa penunggang!" kata Maharaja bernada lega. "Tapi kurasa tetap saja ada gembala-nya, tak jauh dari sini."
"Serang balik mereka!" seru Ludira Mahalaya.
Dan sesaat kemudian kawanan burung-burung Dok Wisanaka mengubah tujuannya. Mereka berubah menyerang pasukan kuda sembrani dari Kerajaan Sabrang Segara itu, alih-alih menyerang para pendekar Perguruan Akik Merah. Kuda-kuda itu pun melayani serangan tersebut. Makhluk-makhluk gagah itu menendang-nendang burung-burung tadi. Ada semacam senjata pisau yang dipasang di kaki kuda-kuda itu, semacam taji yang tajam. Suatu pertarungan yang seimbang, karena mereka sama-sama bisa terbang, dan sama-sama bersenjata taji di kaki mereka.
Darah burung-burung dok menggerimis terkena sabetan taji-taji kuda-kuda sembrani.
"Giring mereka ke bawah!" seru Ludira Mahalaya lagi kepada Dok Wisanaka.
Burung-burung dok mulai menggiring kuda-kuda sembrani. Dengan jumlah yang jauh lebih banyak dibanding kuda-kuda tersebut, kawanan burung Dok Wisanaka bisa mengarahkan lawannya ke bawah. Dan sebuah kejutan menyambut kuda-kuda itu. Bermunculan Dindang-Dindang Patrem dari luar benteng. Makhluk serupa kodok raksasa dengan senjata patrem di kaki depannya itu melompat kian kemari dengan lompatan yang amat tinggi. Mereka juga bisa merayap di dinding-dinding menara sehingga jangkauan serangan Dindang Patrem itu cukup tinggi ke angkasa.
Kuda-kuda sembrani masuk perangkap. Mereka menjadi sasaran empuk Dindang-Dindang Patrem. Makhluk itu menyebetkan senjatanya ke tubuh sembrani-sembrani itu. Luka-luka itu cukup lebar dan dalam, dan mengakibatkan kuda-kuda tadi berjungkalan ke bawah. Jumlah kuda-kuda sembrani hanya puluhan, sementara Dindang-Dindang Patrem dan Dok-Dok Wisanaka tak terhitung banyaknya. Dengan keadaan seperti itu bantuan dari Kerajaan Sabrang Segara ini rasanya menjadi tidak terlalu berarti.
Sebelum kuda-kuda sembrani habis dibantai oleh Dindang Patrem, Panji Pataka berseru,
"Pangeran Arcapada! Kerahkan Mangsa Buana, Pangeran. Segera!"
Sang Pangeran agak terkesiap dan pandangannya bertanya-tanya.
"Ayo, Nak. Hembuskan angin," kata Maharaja pula. "Tenang saja, aku akan melindungimu."
Tanpa banyak tanya lagi Pangeran Arcapada memasang kuda-kuda dan mulai menggerak-gerakkan kedua tangannya. Beberapa saat kemudian angin mulai berembus. Makin lama makin kencang membuat pakaian-pakaian mereka yang berada di atas menara berkelebatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...