Obor-obor sudah dinyalakan ketika Pandan Selasih kembali ke Bangsal Atmaja. Ia melangkah sambil mendekap buku tebal yang dipinjamnya dari Ruang Pustaka.
Anak perempuan itu merenung. Pembicaraannya dengan Nyai Kapti di bilik baca ternyata tidak menghasilkan apa yang ingin diketahuinya. Kepala Perpustakaan itu tetap saja tidak bisa memastikan apakah Lasih memiliki 'wajah bertuah' atau tidak. Padahal si Baju Merah itu merasa sudah menceritakan dirinya selengkap mungkin.
"Jangan-jangan Nyai Kapti hanya ingin mengorek keterangan langsung dariku saja," pikir Lasih sedikit curiga. "Kalau benar begitu, halus sekali caranya bertindak. Untunglah aku bercerita apa adanya. Jadi, jika dia membandingkannya dengan cerita dari orang lain, wanita tua itu akan mendapatkan kisah yang sama tentang diriku. Kurasa dalam hal ini aku masih aman."
Pandan Selasih terus merenung. Sebab, tadi ada juga beberapa hal yang ditanyakan oleh Nyai Kapti mengenai kebiasaan neneknya, kebiasaan yang mungkin hanya diketahui oleh Lasih sendiri. Misalnya, apakah Lasih sering memerhatikan bagaimana cara neneknya memasak, bagaimana cara neneknya menghaluskan bumbu dapur, atau bagaimana caranya Nyai Sirih, neneknya itu, mencuci beras. Lasih juga bercerita tentang kebiasaan neneknya yang senang mengunyah daun sirih, serta kegemarannya menanam tanaman sirih, merica, serta tanaman lainnya.
"Apakah ada kebiasaan nenekmu yang membuatmu heran?" tanya Nyai Kapti, pertanyaannya yang terakhir tadi.
Lasih berpikir-pikir.
"Nenek sering memandangi wajahku berlama-lama. Tapi entah apa yang ada dalam pikirannya," ujar anak perempuan itu lambat-lambat. "Selain itu ia juga sering meludah jika sedang mengunyah daun sirih, dan mengamat-amati air ludahnya berlama-lama juga. Ah, Anda benar, Nyai Kapti. Hal-hal itu kadang memang membuatku heran. Sikap berlama-lama itu. Tapi, kurasa, Nenek hanya sedang melamun saja pada saat-saat seperti itu."
Nyai Kapti mengangguk sependapat.
Tak lama kemudian Pandan Selasih tiba di kamarnya. Ruangan itu kosong.
"Apakah para lare winih belum selesai berlatih olah bela diri?" gumamnya. "Ah, biarlah. Saat ini yang perlu kulakukan adalah mengurus diriku sendiri."
Lasih cepat-cepat mandi, berganti pakaian, lalu naik ke tempat tidur, dan mulai membaca buku tebal yang baru saja dipinjamnya. Betul juga ucapan Nyai Kapti, makhluk-makhluk dongeng itu memang aneh-aneh bentuknya. Tapi kelihatannya sangat menarik. Maka Lasih langsung menekuni buku itu dengan sungguh-sungguh. Ia menutup lembaran terakhir buku tersebut bertepatan dengan dentang lonceng tanda waktu makan malam tiba.
Terlihat Mayang Srini, Arumdalu, dan Laksmi Larasati meninggalkan kamar tanpa mengajak Lasih.
"Kapan mereka masuk? Dan sekarang sudah keluar lagi untuk makan malam," batin Lasih. "Pasti karena aku sedang asyik membaca sehingga tidak menyadari kedatangan mereka tadi."
Sama seperti saat makan siang tadi, para lare winih yang lain tidak menyapa Pandan Selasih. Mereka juga tidak terlalu banyak berbicara, hanya beberapa bisikan lirih antar lare winih saja. Keadaan masih tidak nyaman, terasa banyak hal-hal mengganjal di dalam hati mereka semua.
Setelah selesai makan malam, sebelum meninggalkan ruangan, seorang laki-laki berseragam pelayan datang menghampiri meja para lare winih. Ia membawa nampan berisi tabung-tabung bambu seukuran gelas. Tabung-tabung tersebut dibagikan sesuai dengan nama yang tertera padanya. Tapi tidak semuanya kebagian.
"Ini mestinya tabung surat," kata Andhaka. "Jika kita mendapat surat yang dibawa oleh burung-burung merpati, surat-surat itu akan dimasukkan ke dalamnya."
Tabung-tabung itu memang berisi gulungan-gulungan kecil klaras. Dan Lasih kaget karena ia mendapati segulung klaras di dalam tabung bambunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...