Bagian 86 - PARA PENDEKAR AKIK MERAH

51 3 0
                                    

Orang-orang yang melihat keadaan Pandan Selasih terpekik ngeri. Tak ada yang menyangka nasib anak perempuan berjuluk Putri Merah itu berakhir amat mengenaskan. Untuk sementara mereka pun terpaku, terpana, dan terbelalak.

"Satwatiron!" teriak Ludira Mahalaya. "Bersiaplah menyerang!"

Teriakan itu membuyarkan perhatian orang-orang. Dan para Satwatiron terlihat bersiap-siap menyerang. Kawanan Wirukecu meregangkan tubuhnya, gerombolan Neman siap-siap menerkam, dan Lawa-Lawa Sengir mulai beterbangan. Mereka mengelilingi orang-orang yang tengah berkumpul di pekarangan dalam benteng tersebut.

Mendadak bermunculan orang-orang berseragam merah-merah bersenjata pedang keluar dari ruang bawah tanah Jalur Naga. Mereka bergerak cepat menyebar di pekarangan itu.

"Siapa mereka Paman Gadung Lelono?" tanya Pangeran Arcapada sambil memegangi Maharaja Mahagraha yang tengah berlutut dengan tubuh masih gemetar.

"Sepertinya mereka para pendekar Perguruan Akik Merah," sahut Gadung Lelono. "Kurasa mereka yang berada di pihak Maharaja. Lihat, ada Aki Gludug Watu yang memimpinnya, itu dia yang berambut panjang bergelombang."

Rasanya tepat sekali mereka datang, karena Ludira Mahalaya-pun tak menunda lagi perintahnya.

"Hancurkan orang-orang di sini... sekarang!!"

Maka pecahlah pertarungan. Orang-orang berseragam merah-merah itu terlihat bergerak ke sana kemari melindungi para penghuni istana. Mereka menyebet-nyabetkan pedang, membuat para Neman bergerak maju mundur dengan ragu. Selain itu Lawa Sengir juga tak mudah menyerang. Mereka disambut tebasan pedang sehingga darah hijau pun menggerimis.

Sementara itu para lare winih telah malih rupa untuk mengatasi kawanan Wirukecu. Andhaka terlihat meninju para Wirukecu yang menggelinding ke arahnya, dengan tangannya yang membesar dan membara. Juga Tobil yang malih rupa menjadi biawak tampak menyabet-nyabetkan kedua ekor panjangnya yang berujung tajam untuk menghadapi Wirukecu yang terus menggelinding ke sana kemari. Juga Giras yang bercakar panjang dan tajam, menghadapi serangan Satwatiron baik Wirukecu maupun Lawa Sengir.

Kedatangan para pendekar Perguruan Akik Merah benar-benar sangat membantu. Karena keadaan para prajurit dan penghuni istana sendiri pada saat itu kurang menguntungkan. Juga keadaan para lare winih. Mereka semua sudah sangat lelah, karena mereka sudah bersiaga sejak siang kemarin. Syukurlah telah datang bala bantuan tersebut. Pendekar-pendekar itu pun dengan lincah bergerak menghadapi gempuran para Satwatiron yang menyerang serentak.

Lawa-Lawa Sengir terlihat terus memburu orang-orang di pekarangan dalam benteng itu. Namun mereka disambut tebasan pedang para pendekar yang bersiaga penuh. Darah hijau terus menggerimis.

"Lawa-Lawa Sengir itu sangat banyak, seperti tak habis-habis, bahkan sepertinya terus berdatangan," kata Pangeran Arcapada.

"Benar, Pangeran. Dan pertempuran seperti ini akan sangat menguras tenaga," kata Gadung Lelono.

Lalu perlahan tapi pasti, gerakan para pendekar itu mulai melambat. Mereka mulai kehilangan tenaga dan kebugaran menghadapi Lawa-Lawa Sengir. Satu dua orang pendekar mulai berhasil dilukai Satwatiron terbang itu, tersungkur, dan disedot darahnya. Hal ini lama-lama memengaruhi para pendekar yang lain. Mereka terasa mulai goyah.

Satu dua kali Gadung Lelono masih menyabet-nyabetkan pisau belatinya untuk mengusir Lawa-Lawa Sengir yang mengerubutinya. Darah hijau menggerimis. Sedangkan Maharaja Mahagraha menyilangkan kedua tangannya. Lawa-Lawa Sengir yang menyerangnya terpental semua, seakan ada perisai tak terlihat yang melindungi Raja Kerajaan Sanggabuana itu. Pangeran Arcapada sendiri berlindung di belakang Sang Raja, atau kadang-kadang di dekat Gadung Lelono.

Panji Pataka tiba-tiba muncul di ujung tangga menara tak beratap itu. Ia ikut mengusir pada Satwatiron terbang itu dengan pukulan tongkatnya.

"Harus ada yang menangani Ludira Mahalaya, Aki Guru!" seru Maharaja Mahagraha. "Jika dia berhasil diganggu maka serangan para Satwatiron tidak akan sekuat ini."

"Saya sudah serahkan urusan itu pada para lare winih," sahut Panji Pataka.

"Dan mereka juga dalam kawalan prajurit Pasukan Khusus," sambung Gadung Lelono.

Maharaja Mahagraha mengangguk-angguk.

Tapi kelihatannya keberuntungan belum berpihak pada Istana Hinggiloka. Karena dari luar benteng berdatangan Satwatiron lainnya, yaitu rombongan Dok Wisanaka. Burung-burung dok bertaji panjang dan beracun itu terbang berputar-putar, seperti menunggu perintah gembala-nya.

Rombongan Dok Wisanaka semakin banyak yang berdatangan, bagaikan gumpalan-gumpalan awan gelap yang bergerak menaungi pekarangan Istana Hinggiloka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rombongan Dok Wisanaka semakin banyak yang berdatangan, bagaikan gumpalan-gumpalan awan gelap yang bergerak menaungi pekarangan Istana Hinggiloka. Cahaya bulan mulai meredup di langit istana saking banyaknya Satwatiron itu.

"Kita harus mengatasi Lawa-Lawa Sengir dulu, Ayahanda," kata Pangeran Arcapada. "Mayarng Srini bisa melakukannya dengan suaranya yang amat tinggi."

"Mayang Srini sudah melakukannya, Nak," Panji Pataka yang menyahut. "Tapi dengan Lawa-Lawa Sengir sebanyak ini, usahanya nyaris tak ada artinya."

"Awas Aki... !" seru Pangeran Arcapada.

Panji Pataka merunduk. Lawa Sengir yang menyerangnya dari belakang hanya menyambar angin.

"Rombongan burung-burung dok juga semakin banyak," kata Gadung Lelono. "Lihat mereka di angkasa, nyaris menutupi langit istana. Satu kata saja dari Ludira Mahalaya maka makhluk-makhluk itu akan bergerak serentak ke bawah. Kita tak akan bisa bertahan lebih lama lagi."

Dan kekhawatiran itu segera terjadi.

"Dok Wisanaka! Tuntaskan orang-orang di sini!" seru Ludira Mahalaya.

Bagaikan aliran air terjun, burung-burung itu terbang menukik sambil mengarahkan cakar dan taji panjangnya ke bawah.

***


Selanjutnya: Bagian 87 - PASUKAN SEMBRANI

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang