Bagian 53 - MENUNGGU

58 3 0
                                    

Cuaca di langit Istana Hinggiloka sangat suram, sesuram keadaan di dalam bentengnya. Orang-orang kembali bergerombol-gerombol dengan wajah murung. Kematian Jeng Kanthil rupanya sangat memukul perasaan mereka. Kecemasan tampak melanda di setiap sudut istana.

Sejumlah prajurit terlihat disiagakan di beberapa bagian, namun tampaknya cukup sulit untuk bisa menghilangkan ketakutan yang ada.

Peristiwa pembunuhan itu nyaris menjadi urusan seluruh penghuni istana. Pasukan Khusus Kerajaan segera disebar untuk mencari keterangan. Mereka mendatangi ruangan-ruangan dan mengumpulkan penghuninya untuk dimintai kesaksian. Demikian juga Bangsal Atmaja, seorang petugas mengumpulkan para lare winih di Ruang Rembuk bangsal itu. Mereka diminta bercerita singkat tentang terakhir kali mereka bertemu dengan Rahajeng Kanthilsari.

Petugas itu mencatat apa-apa yang disampaikan lare winih, terutama lare winih perempuan - karena tampaknya merekalah yang terakhir kali melihat wanita itu, yaitu saat Jeng Kanthil berdiri di ambang jendela berbalkon. Si Petugas menanyakan apakah mereka mendengar suara-suara yang mencurigakan tadi malam, yang dijawab dengan gelengan kepala oleh para lare winih perempuan.

Setelah petugas itu pergi, muncul Panji Pataka. Ia datang bersama seorang prajurit Pasukan Khusus. Aki Guru itu mengatakan bahwa prajurit itu untuk mengawal Pandan Selasih. Aturan semula, Lasih hanya dikawal jika keluar benteng istana, namun sejak kini anak perempuan itu akan tetap dikawal meskipun ia sedang berada di dalam benteng istana. Menurut Panji Pataka, itu semua dengan pertimbangan demi keselamatan.

Para lare winih yang lain saling berpandangan. Tampaknya bagi mereka, keadaan ini semakin menunjukkan bahwa Pandan Selasih jelas-jelas diistimewakan dibanding lare-lare winih yang lain. Jangankan dikawal, lare-lare winih itu juga belum pernah berjumpa dan berbicara dengan Maharaja - berbeda halnya dengan Pandan Selasih.

Tapi Pandan Selasih sendiri merasa tidak nyaman dengan adanya pengawalan seperti itu. Ia akan terus dipantau kemanapun perginya sehingga merasa sudah tidak lagi memiliki kebebasan seperti semula. Bagi Lasih, salah besar jika lare winih yang lain iri hati terhadapnya, karena mereka belum merasakan sendiri bagaimana terkekangnya dirinya sekarang.

Panji Pataka lalu membagi para lare winih untuk disebar kembali sebagaimana hari sebelumnya. Mereka menempati menara-menara utama serta menara tertinggi. Sementara Lasih kembali dipasangkan dengan Dibal, mereka bertugas memantau keadaan di dalam istana.

Lasih, Dibal, dan prajurit pengawal dari Pasukan Khusus berjalan perlahan melihat-lihat keadaan istana. Sejauh ini yang mereka lihat adalah suasana berkabung bercampur dengan perasaan takut. Dibal tampak sedikit membusungkan dada. Lasih mengira-ngira, tampaknya Dibal merasa senang kemana-mana dikawal seperti itu.

Di sebuah belokan mereka berpapasan dengan Pangeran Arcapada.

"Kalian?" ujarnya. "Hanya berpasangan berdua saja? Di mana yang lain?"

"Aki Guru menyebarkan lare winih ke menara-menara utama untuk memantau keadaan, Pangeran. Kami berdua kebagian tugas memantau keadaan di dalam istana," kata Pandan Selasih.

Pangeran Arcapada mengangguk kecil, sejenak memandangi sepasang lare winih itu. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi kemudian Sang Pangeran berkata,

"Apakah kalian mendapat semacam petunjuk berkaitan dengan kematian Jeng Kanthil?"

Lasih dan Dibal menggeleng.

"Tidak, Pangeran. Bagaimana dengan Pangeran?" ujar Pandan Selasih.

"Aku baru saja bertemu Nyai Kapti," kata Pangeran Arcapada. "Dia berkata bahwa ada ucapan tertentu Jeng Kanthil yang tidak pantas pada saat acara keakraban itu. Mungkin saja ada orang-orang tertentu yang sangat tersinggung, hingga membunuhnya."

Lasih dan Dibal tampak mengingat-ingat kembali ketika bertemu dengan Jeng Kanthil di aula semalam.

"Jika dipikir-pikir, kata-katanya memang melanggar batas kesopanan," kata Pandan Selasih

"Tapi Lasih, kurasa kata-kata Jeng Kanthil hanya dimaksudkan untuk bercanda saja," ujar Dibal.

Pangeran Arcapada menarik napas pendek, lalu berkata,

"Tapi aku sendiri memang tidak yakin, hanya gara-gara sedikit tersinggung, seseorang bisa sampai melakukan pembunuhan."

"Mungkinkah yang membunuhnya bukan manusia?" ujar Dibal lambat-lambat. "Mengingat keadaannya yang mengenaskan itu?"

"Hmm... hal itu juga yang dikatakan oleh Nyai Kapti tadi," kata Pangeran Arcapada. "Ada suatu makhluk yang suka merobek dada manusia dan mengambil jantungnya untuk dimakan. Namun, sayangnya makhluk itu hanya makhluk dongeng."

"Apakah nama makhluk itu Dindang Patrem?" tanya Pandan Selasih lirih.

Pangeran Arcapada mengernyit.

"Bagaimana kau tahu?" tanyanya.

"Kebetulan saya sudah membaca buku tentang makhluk-makhluk aneh dalam dongeng di Kerajaan Sanggabuana," sahut Lasih. "Ada makhluk yang bentuknya seperti katak, berukuran sebesar manusia, mampu merambat di dinding, dan kedua kaki depannya tajam seperti senjata patrem. Dalam berburu, makhluk itu merobek dada mangsanya, membetot jantungnya, lalu memakannya. Nama makhluk tadi Dindang Patrem."

Pangeran Arcapada tertegun sejenak.

"Apapun jenis makhluk itu, aku jadi berpikir barangkali yang membunuh Jeng Kanthil adalah Satwatiron buatan Ludira Mahalaya? Soalnya ditemukan ceceran-ceceran berwarna hijau. Seperti darah Satwatiron. Kelihatannya Jeng Kanthil sempat melawan, dan berhasil melukai makhluk itu. Ah, sungguh amat mengerikan jika dibayangkan," ujar Pangeran Arcapada bergidik. "Jadi, jika berdasarkan keadaan yang menimpa Rahajeng Kanthilsari, mungkin saja makhluk semacam itulah yang telah membunuhnya."

"Oh ya, ada selentingan yang cukup mengganggu pikiranku," lanjut Pangeran Arcapada.

"Selentingan?" ujar Dibal. "Selentingan seperti apa?"

"Selentingan yang keterlaluan," sahut Sang Pangeran bergetar. "Katanya, ada kemungkinan yang membunuh bisa jadi salah seorang lare winih. Mungkin dari kelompok pertama, atau kelompok kedua."

Lasih dan Dibal terbelalak.

"Keji sekali tuduhan itu," dengus Dibal.

"Soalnya lare-lare winih juga bisa berubah menjadi makhluk-makhluk jadi-jadian bukan? Ada yang mempunyai cakar dan sebagainya?" kata Pangeran Arcapada.

"Tapi apa alasannya?" ujar Pandan Selasih ternganga. "Maksud saya, apa alasan membunuhnya?"

"Itulah yang belum kita ketahui," kata Sang Pangeran mengakui. "Alasan yang diungkapkan Nyai Kapti tadi adalah masalah ketersinggungan. Saat ini Mahapatih Parasara, Paman Gadung Lelono, dan beberapa orang lagi termasuk Nyai Kapti sendiri, sedang membahas masalah ini dari berbagai sisi. Salah satunya membahas tentang siapa-siapa saja pihak yang diuntungkan dengan kematian ini. Kalau tidak salah, masalahnya mengarah pada penyelenggaraan Pesta Windon. Rahajeng Kanthilsari adalah salah satu pesertanya, bukan? Sangat mungkin saingannyalah yang telah melakukan hal kejam itu."

"Maksud Pangeran adalah Ki Lantip? Serta Prabu Madukhara?" ujar Dibal. "Sebab mereka berdua adalah saingan Jeng Kanthil pada Pesta Windon di Kerajaan Ngesti Ageng."

Pangeran Arcapada mengangkat bahu.

Ketiga lare winih itu lalu saling pandang.

"Yah, tapi kurasa masalah seperti ini adalah urusan para petinggi istana," kata Sang Pangeran lambat-lambat. "Terlalu berat jika dibebankan pada para lare winih. Jadi, yang bisa kita lakukan sekarang adalah melaporkan apabila kita menemukan petunjuk-petunjuk baru. Tapi petunjuk seperti apa, aku juga tidak tahu. Kita hanya bisa menunggu."

***


SELANJUTNYA: Bagian 54 - KANDANG DINDANG PATREM

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang