Pertemuan di Ruang Kepatihan tidak berlangsung lama. Selain Panji Pataka dan lare winih, hadir pula Mahapatih Parasara dan Panglima Turangga Seta. Ketiga orang dewasa itu sepakat mengenai pembagian tugas untuk para lare winih.
Panglima Turangga Seta, lelaki gemuk pendek bertopi besi itu, menunjuk-nunjukkan tuding kayunya pada miniatur Istana Hinggiloka.
"Nah, ada enam menara utama di benteng kita. Masing-masing akan ditempatkan satu orang lare winih di puncaknya. Jadi kita memerlukan enam orang lare winih. Lalu sisanya, dua orang ditempatkan di menara tertinggi dan dua orang lagi di dalam istana."
Panglima Turangga Seta menyapukan pandangan ke lare winih.
"Nah, ada pertanyaan?" ujarnya.
Dibal Patigaman mengangkat tangan.
"Silakan," kata Sang Panglima.
"Sebenarnya apa saja tugas lare winih?" kata Dibal, nadanya terdengar kesal. "Kita supaya menjaga mahkota Pangeran Arcapada sebagai tugas pertama, lalu menjaga Pandan Selasih sebagai tugas kedua. Apakah tugas di menara-menara itu adalah tugas yang ketiga?"
Panglima Turangga Seta, Mahapatih Parasara, serta Panji Pataka saling pandang selintas.
"Hal itulah yang akan kusampaikan sekarang," kata Panji Pataka tenang. "Kalian harus mulai bersiap, nantinya tugas para lare winih semakin lama akan semakin banyak. Itu sangat wajar, mengingat kalian adalah calon-calon penerus pemerintahan Kerajaan Sanggabuana."
Panji Pataka diam sebentar, lalu melanjutkan,
"Tapi untuk saat ini, tugas kalian adalah sebagai salah satu pengawas di menara-menara utama. Untuk dua tugas sebelumnya: menjaga mahkota dan menjaga Pandan Selasih, per hari ini sudah dialihtugaskan kepada Pasukan Khusus Kerajaan Sanggabuana, pimpinan Gadung Lelono. Jadi, tugas baru sebagai pengawas di menara itu, maupun bagian lainnya, dapat kalian kerjakan dengan sepenuhnya."
"Apakah perubahan begini akibat membelotnya Nyai Adicara, Aki?" tanya Pandan Selasih.
"Salah satu alasannya memang demikian," sahut Panji Pataka. "Bagaimanapun, jika suasananya tiba-tiba berubah, kalian juga harus bersiap siaga untuk mengalami perubahan tugas. Kalian mengerti?"
Para lare winih mengangguk-angguk.
"Apakah ada pertanyaan lain?" tanya Panglima Turangga Seta. "Tidak ada? Baiklah, dari saya dan Aki Guru sudah cukup. Silakan Mahapatih Parasara, mungkin ada yang perlu disampaikan?"
Mahapatih Parasara yang berwajah datar itu berdehem.
"Pesanku seperti sebelumnya saja," ujar Sang Mahapatih. "Jika kalian menemukan atau mengalami hal-hal aneh, terutama yang mencurigakan, kalian harus segera melaporkannya padaku. Aku adalah tangan kanan Maharaja Mahagraha, jadi aku perlu mengetahuinya. Selain itu, saat ini semua tugas Nyai Adicara sudah kutangani sendiri. Maka akan sangat berguna jika aku bisa mendapatkan berita-berita penting sejak awal, sehingga aku bisa mengatur segalanya agar lebih mudah ditangani."
Para lare winih mengangguk-angguk.
Setelah itu Panji Pataka memimpin rombongan lare winih keluar dari Ruang Kepatihan. Mereka menyeberangi halaman, menyusuri koridor-koridor, hingga tiba di pintu yang menuju ruang bawah tanah.
"Maaf, Aki Guru, kita akan ke mana?" tanya Andhaka.
"Kita akan ke Padang Parilang," sahut Panji Pataka. "Kalian sudah pernah ke sana bersama Pangeran Arcapada, bukan? Nah, kita akan ke sana lagi."
Di pintu tersebut telah menunggu dua orang laki-laki setengah baya. Keduanya berpakaian seragam pendekar warna merah tua dan bersabuk hitam. Mereka adalah anggota Pasukan Khusus Kerajaan Sanggabuana. Kedua lelaki itu menghormat kepada Panji Pataka, lalu segera menjejeri Pandan Selasih yang berjalan paling belakang.
"Merekalah yang sekarang bertugas mengawal Pandan Selasih," kata Panji Pataka menjelaskan pada lare winih.
Sambil terus berjalan, para lare winih saling pandang. Jelas sekali Pandan Selasih telah diperlakukan dengan khusus, sampai harus dikawal seperti itu. Wajah-wajah mereka menggambarkan perasaan iri hati, namun para lare winih itu tetap berdiam diri.
Rombongan tersebut lalu berjalan cepat menyusuri Jalur Naga, terowongan berkelok-kelok yang akan membawa mereka ke Padang Parilang.
"Aki Guru, benarkah ada naga yang disembunyikan di ruang bawah tanah ini?" tanya Andhaka. "Soalnya, waktu kami kemari sebelumnya, kami mendengar suara seperti dengkuran. Konon itu suara naga."
"Menurutmu sendiri bagaimana?" ujar Panji Pataka malah balik bertanya dengan nada menggoda.
"Mungkin memang ada naga di sini," kata Andhaka. "Mungkin itu salah satu makhluk hasil rekayasa yang dilakukan oleh Ludira Mahalaya."
"Untuk itulah kalian semua kubawa ke Padang Parilang, untuk mempersiapkan diri," kata Panji Pataka. "Sebab, mungkin kalian akan bertemu dengan naga itu bila saatnya telah tiba. Ngomong-ngomong, mengapa kalian berpikir bahwa itu suara naga? Mengapa bukan makhluk lainnya?"
Para lare winih tampak mengernyit. Panji Pataka meneruskan ucapannya,
"Kalau boleh kutebak, karena terowongan ini dinamakan Jalur Naga, bukan? Sehingga dengan memerhatikan namanya, kalian lalu berpendapat bahwa makhluk yang bersuara mendengkur itu pastilah sesosok naga?"
Mau tak mau para lare winih tersipu-sipu. Panji Pataka tampaknya pandai berkelakar. Dan tak lama kemudian mereka tiba di ujung lorong. Mereka tiba di kaki bukit di Padang Parilang.
Angin berembus kencang. Pakaian seragam dan ikat kepala para lare winih berkelebatan. Mereka memandang Padang Parilang yang luas membentang. Namun mereka terkejut karena seluruh padang itu kini berwarna hitam. Tampaknya itu gara-gara serbuan Muring Inten lagi, sehingga tak ada lagi bagian padang yang berwarna hijau.
"Musim tanam kali ini dipastikan kita gagal panen, Anak-anak," ujar Panji Pataka prihatin. "Ludira Mahalaya benar-benar sudah bertindak melampaui batas. Nah, ayo, ikuti aku terus."
Maka rombongan itu terus berjalan melewati jalur-jalur yang membelah Padang Parilang, atau lebih tepatnya bekas Padang Parilang. Tanaman-tanaman itu tampak telah hangus dan hancur semua. Pelan-pelan, rasa marah merambati hati para lare winih itu.
"Serangga-serangga Muring Inten itu memang terkutuk," kata Mayang Srini. "Tanaman parilang itu tak bersisa lagi."
"Apakah kita ke sini untuk membasmi Muring Inten, Aki Guru?" tanya Dibal.
"Kalau mereka datang lagi, mengapa tidak?" sahut Panji Pataka. "Namun kurasa mereka sudah pergi jauh, karena tak ada lagi tanaman parilang yang bisa mereka hinggapi dan hisap cairannya."
Rombongan tersebut terus berjalan naik turun bukit. Sejauh ini memang tanaman parilang hanya tinggal sisa-sisanya saja. Dan kemudian setelah melewati beberapa batang pohon besar, akhirnya mereka sampai di atas sebuah tebing. Di bawahnya menganga jurang yang cukup dalam. Di dasar jurang itu ada sungai yang berair deras, tampak dari gerakan airnya yang cepat.
Tiba-tiba angin berembus lebih kencang. Para lare winih yang berdiri di atas tebing merinding. Dengan angin sekencang itu bisa saja mereka terdorong jatuh ke jurang yang menganga itu.
"Hati-hati!" seru Panji Pataka.
Peringatan itu bersamaan datangnya dengan hembusan angin yang jauh lebih kuat. Dua orang pengawal cepat-cepat menarik si Baju Merah Pandan Selasih agar sama-sama bertiarap. Panji Pataka juga segera bertiarap. Namun para lare winih yang belum terbiasa berwaspada itu tidak bisa berbuat banyak. Mereka terdorong ke bibir jurang dan dengan hembusan angin yang menyentak-nyentak, semuanya terpekik, dan sejurus kemudian terpelanting berjatuhan ke dalam jurang itu.
***
Selanjutnya: Bagian 48 - LASKAR LARE WINIH
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...