Bagian 29 - DENGKURAN NAGA

71 5 0
                                    

Pangeran Arcapada berjalan paling depan, diikuti oleh para lare winih kelompok kedua. Ia melangkah sambil bercerita tentang kesembronoan yang terus disesalinya. Gadung Lelono mengawal mereka dari belakang, sedangkan Nyai Adicara tetap tinggal di Pendopo Gadhing, menunggu mereka kembali dari kegiatan jalan-jalan itu.

Anak-anak mendengarkan cerita Pangeran Arcapada dengan penuh perhatian.

"Begitulah sebagian dari kisahku. Nah, sekarang kita tiba di bagian istana yang bagiku sangat menarik," ujar Sang Pangeran. "Ayo kita masuk!"

Rombongan itu kemudian menuruni telundakan batu, masuk ke ruang bawah tanah yang gelap. Udara terasa agak pengap dan hangat. Lorong itu tidak begitu tinggi, beratap melengkung dan berdinding batu juga. Dalam jarak tertentu terdapat obor-obor yang menyala sebagai penerangan.

"Wah, tak kusangka. Di bawah istana ini ternyata ada ruang bawah tanah!" ujar Andhaka terpesona.

Mereka terus bergerak turun dan berpapasan dengan tiga orang lelaki tegap yang tengah menaiki telundakan ke atas. Masing-masing terlihat memanggul tempayan besar dari tembikar.

"Apa yang mereka bawa?" ujar Dibal heran.

"Air," sahut Pangeran Arcapada.

"Air?" gumam Dibal lirih.

Tak lama rombongan itu tiba di lantai datar yang cukup lebar. Di tepi lantai batu itu tampak sungai kecil yang mengalir perlahan diterangi sinar obor.

"Lihat! Lihat itu, ada sumber air!" seru Arumdalu tampak terkesima.

"Ya ampun, Arumdalu. Apakah kau sudah haus sekali? Padahal kita kan baru saja berangkat," ujar Laksmi.

"Bukan begitu. Soalnya aku ingat omongan Lasih tentang istana dongeng di puncak bukit. Istana Hinggiloka ini memang nyata, karena ia memiliki sumber air yang dekat, jadi tak perlu mengusung air dari tempat-tempat yang jauh," kata Arumdalu. Ia lalu berpaling dan mengguncang pundak Pandan Selasih sambil berkata lagi, "Kau benar sekali, Putri Merah! Sumber air itu memang benar-benar ada."

Lasih terlonjak.

"Ah, kau membuatku kaget," ujar si Baju Merah itu. "Dan apa maksudmu menjuluki aku Putri Merah?"

Arumdalu tertawa, lalu berkata, "Karena siapa lagi yang selalu berpenampilan serbamerah kalau bukan Putri Merah?"

Rombongan itu terus bergerak. Setelah berjalan beberapa lama mereka tiba di sebuah lorong yang cukup besar.

 Setelah berjalan beberapa lama mereka tiba di sebuah lorong yang cukup besar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Terowongan bawah tanah yang ini cukup panjang. Jadi, ayo kita berjalan lebih cepat," kata Pangeran Arcapada. "Oh ya, ngomong-ngomong, terowongan ini disebut Jalur Naga. Kurasa itu sebuah nama yang cukup mengesankan, bukan?"

Para lare winih menggumam-gumamkan nama itu.

"Mengapa dinamakan Jalur Naga?" tanya Pandan Selasih.

"Aku tidak tahu pasti. Mungkin karena terowongan ini lumayan panjang dan sedikit berkelok-kelok, seperti gerakan seekor ular, ular besar: ular naga," sahut Pangeran Arcapada. "Tahukah kalian, katanya pernah beberapa kali terdengar suara geraman, atau dengkuran, di dalam terowongan ini. Konon itu suara naga! Heran, benarkah ada naga yang tengah bersembunyi di bawah Istana Hinggiloka?"

Para lare winih saling pandang sambil terus berjalan menyusuri terowongan berlantai batu ceper itu.

"Apakah semua penghuni istana tahu akan hal ini, Pangeran? Maksud saya, apakah semua orang pernah mendengar dengkuran itu?" tanya Pandan Selasih lagi.

Pangeran Arcapada menggeleng.

"Sepertinya tidak. Kasak-kusuk ini hanya beredar di kalangan para pegawai pengangkut air saja. Mereka itu yang sering naik turun ke tempat ini untuk ngangsu, atau mengambil air dari sumber air. Merekalah yang katanya pernah mendengarnya. Dan aku tahu tentang ini dari Paman Gadung Lelono, dan Paman Gadung Lelono mendengarnya langsung dari mereka."

"Menurutku geraman, dengkuran, atau apa pun itu sebenarnya tak pernah ada," tukas Dibal. "Itu pasti hanya akal-akalan saja agar tak banyak orang yang turun naik ke tempat ini. Untuk menakut-nakuti orang saja. Karena areal bawah tanah ini sepertinya bagian rahasia dari Istana Hinggiloka."

Pangeran Arcapada tiba-tiba tertawa.

"Kali ini aku sepakat dengan kau, Pangeran Dibal," ujar Pangeran Arcapada nyengir. "Kurasa suara-suara menyeramkan itu memang hanya omong-kosong belaka."

"Hmm... tapi bagaimana jika hal itu benar?" ujar Pandan Selasih. "Mungkin saja memang ada seekor naga di sekitar sini? Ingat tentang makhluk-makhluk aneh buatan Ludira Mahalaya - ada Neman, juga Lawa Sengir? Mungkin saja naga itu benar-benar ada, mainan hasil rekayasa Ludira Mahalaya yang disembunyikan di sini."

Sesaat semua terdiam merenungkan ucapan Lasih. Suasana hening, hanya terdengar alas-alas kaki mereka yang menapaki lantai batu. Dan pada saat itulah terdengar sayup-sayup semacam bunyi dengkuran.

Rrrrr.... rrrrr.... rrrrr...

Anak-anak terkesiap. Semuanya langsung berhenti melangkah. Gadung Lelono yang mengawal mereka juga ikut berhenti dan langsung bersiaga. Mereka semua memerhatikan dengan sikap tegang karena terkejut.

Tapi suara itu terdengar hanya sebentar saja. Selanjutnya suasana kembali senyap. Namun mereka semua masih menunggu kalau-kalau akan terjadi sesuatu.

"Kalian... kalian dengar suara tadi?" bisik Pangeran Arcapada.

Yang lainnya mengangguk-angguk.

"Aku tak pernah mendengar suara seperti itu," bisik Pangeran Arcapada lagi. "Padahal aku cukup sering ke sini...."

Semuanya saling berpandangan. Pangeran Arcapada menatap ke arah Gadung Lelono, meminta pertimbangan.

"Sebetulnya, selama ini suara-suara itu tidak berakibat apa-apa pada para pegawai pengangkut air," ujar Pimpinan Pasukan Khusus itu. "Jadi, terserah Pangeran saja, kita akan terus atau kembali ke istana."

Anak-anak kembali saling pandang.

"Wah, mumpung kita sedang banyak orang, bagaimana jika kita mencari sumber suara itu bersama-sama?" usul Andhaka.

Tentu saja semuanya kaget mendengar usulan itu. Apalagi mereka baru saja terkejut karena suara aneh itu ternyata benar-benar ada.

"Kau ini pemberani atau sok berani?" cibir Dibal.

"Tapi suara tadi terdengar dari segenap penjuru," kata Pandan Selasih. "Kelihatannya tak mudah untuk menentukan sumbernya."

"Oh, aku tidak mau ikut mencari," ujar Arumdalu dengan suara sedikit bergetar . "Ayo kita pergi saja dari sini. Kita kembali ke istana...."

"Kurasa kita terus saja, Pangeran," kata Andhaka. "Dan kalian semua, ayo kita berjalan lebih cepat lagi. Jangan sampai kita masih berada di sini saat naga itu benar-benar muncul!"

"Ucapanmu itu sama sekali tidak lucu!" tukas Mayang Srini.

Tapi tampaknya sebagian besar lare winih itu setuju dengan ucapan ketua mereka. Terutama anak laki-laki. Mereka memutuskan untuk meneruskan acara jalan-jalan itu. Maka Pangeran Arcapada kembali memimpin rombongan tersebut menyusuri Jalur Naga yang panjang dan berkelok-kelok.

***

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang