Kembali ke Istana Hinggiloka.
Para lare winih berkumpul di Ruang Rembuk Bangsal Atmaja. Andhaka baru saja mengatakan bahwa kematian Jeng Kanthil membuat tamu-tamu calon peserta Pesta Windon tertahan di istana. Mereka belum diperbolehkan kembali ke Kerajaan Bagian masing-masing hingga ada titik terang mengenai kasus ini.
"Pemeriksaan pada mereka masih terus berlanjut," kata Ketua lare winih itu. "Tampaknya pihak istana mempunyai dugaan kuat bahwa kejadian ini terkait dengan Pesta Windon. Ada pihak-pihak yang bermain kasar pada hajatan yang diadakah setiap satu windu atau setiap delapan tahun sekali itu. Tapi pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita lakukan?"
"Kita tak mungkin mencampuri urusan Pesta Windon," kata Mayang Srini.
"Mayang Srini benar," sela Dibal cepat. "Tapi urusan kita adalah masalah fitnah. Sudah kukatakan, bahwa Pangeran Arcapada mendapat selentingan, bahwa si Pembunuh adalah salah satu lare winih. Nah, kita tidak boleh diam saja mendapat fitnah seperti itu. Kecuali... "
"Kecuali apa?" ujar Pandan Selasih mengernyit.
"Kecuali kalau tuduhan itu benar," kata Dibal penuh perasaan.
Para lare winih saling pandang.
"Tapi aku tidak melihat apa kepentingannya seorang lare winih sampai membunuh salah seorang calon peserta Pesta Windon," ujar Andhaka. "Kurasa tak ada kaitannya."
"Jadi, menurutmu, apa yang harus kita lakukan, Andhaka?" tanya Laksmi Larasati.
"Kita harus membersihkan nama kita," sahut Andhaka. "Caranya adalah dengan mengerjakan sebaik-baiknya tugas yang dibebankan pada kita. Tugas kita adalah memantau istana dan sekitarnya di menara-menara pengawas. Sekalian, siapa tahu kita melihat atau mendengar kabar atau petunjuk baru."
"Bukan begitu caranya, Andhaka," kata Dibal mencibir. "Itu berarti kita hanya diam saja menunggu. Semestinya kita bergerak ke sana-kemari mencari berita. Kita harus mencari sendiri siapa pembunuh yang sebenarnya."
"Jika kita bergerak ke sana-kemari tak tentu arah, itu juga tak akan banyak membantu," bantah Andhaka.
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Andhaka segera membukakannya. Ternyata prajurit pengawal Lasih.
"Lasih," ujar Andhaka. "Kau ditunggu Menteri Kinanthi di Ruang Upiksa, sekarang juga."
Pandan Selasih mengernyit heran, tapi ia segera beranjak. Sambil dikawal oleh prajurit tadi, Lasih meninggalkan Ruang Rembuk Bangsal Atmaja.
"Ada apa Menteri Kinanthi memanggil saya, Paman prajurit?" tanya si Baju Merah itu.
"Saya tidak tahu. Saya hanya menjalankan perintah."
"Baiklah," ujar Lasih lirih.
Lasih mencoba mengira-ngira, mengapa Menteri Kinanthi memanggilnya untuk ke Ruang Upiksa, tapi anak perempuan itu tidak bisa menebaknya.
Tak lama kemudian mereka segera tiba di ruangan itu. Kinanthi Maheswari sendiri yang membukakan pintu.
"Mari masuk, Nak," ujarnya. "Dan pengawal, silakan tunggu saja di luar."
Pandan Selasih dipersilakan duduk di sebuah bangku. Dengan agak bingung ia duduk dan memandang berkeliling. Selain Sang Menteri, ternyata di sana ada pula Panji Pataka. Lelaki tua itu tersenyum ramah pada Pandan Selasih.
"Lasih, apa kau baik-baik saja, Nak?" tanya Panji Pataka lembut.
Pandan Selasih mengangguk-angguk.
"Oh ya, apakah kau masih sering teringat pada Nenek-mu?" tanya lelaki itu lagi.
Lasih mengangguk namun kali ini agak ragu. Soalnya, dengan segala kesibukannya, sebetulnya ia tidak terlalu memikirkan neneknya lagi. Ia malah heran dengan pertanyaan Aki Guru itu.
Sejujurnya Lasih sempat mendengar hal tentang neneknya dari percakapan antara Nyai Kapti dengan Kinanthi Maheswari beberapa waktu lalu. Hal mana ada kemungkinan neneknya masih hidup. Namun ia menahan diri untuk mengatakannya, karena kesannya ia telah menguping pembicaraan orang lain.
"Lasih, tidak inginkan kau mengetahui siapa karib-kerabatmu yang lain?" tanya Panji Pataka kemudian. Nadanya terdengar hati-hati.
Pandan Selasih mengernyit tak mengerti.
"Untuk itukah saya dipanggil ke sini, Aki Guru?" tanya anak perempuan itu. "Untuk membicarakan tentang karib-kerabat saya?"
"Tidak persis seperti itu, Nak. Tapi kami bermaksud melakukan Uji Biang dan Kekerabatan, atau UBK padamu. Hal ini berguna untuk memastikan hubunganmu dengan seseorang. Untuk itulah aku dan Menteri Kinanthi memanggilmu ke sini."
Pandan Selasih memandang Panji Pataka dan Kinanthi Maheswari berganti-ganti.
"Kami ingin melakukan UBK padamu, itu benar, namun hal ini tergantung pada kerelaanmu," kata Kinanthi Maheswari. "Namun sebelumnya maafkan kami, untuk sementara kami belum bisa memberitahukan siapa seseorang yang kami maksud. Yang kami perlukan saat ini adalah catatan hasil UBK padamu itu."
Lasih tertegun. Ia cepat memutar pikirannya.
"Apakah ini ada hubungannya dengan Jeng Kanthil? Apakah Jeng Kanthil adalah seseorang yang Aki Guru dan Menteri Kinanthi maksud? Berarti dia itu kerabat saya?" ujar Pandan Selasih tiba-tiba.
Panji Pataka dan Kinanthi Maheswari saling berpandangan.
"Lasih, kami memang mempunyai rencana-rencana tertentu," kata Panji Pataka. "Seperti yang dikatakan Menteri Kinanthi, untuk sementara ini kami belum bisa memberitahukan apa-apa. Tapi kami berjanji akan mengatakan hasil penyelidikan kami tentang kerabat itu padamu. Bagaimana? Apakah kau rela melakukan Uji Biang dan Kekerabatan itu?"
Untuk beberapa jenak semuanya terdiam. Tapi kemudian Lasih mengangguk tanda setuju.
"Baiklah kalau begitu, bisa kita mulai sekarang, Aki Guru?" tanya Kinanthi Maheswari.
Panji Pataka mengangguk. Maka kemudian Sang Menteri memulai bekerja. Dengan lembut Kinanthi Maheswari mencabut beberapa helai rambut panjang Lasih. Kemudian ia meminta Lasih membuka mulutnya. Dengan alat semacam sendok kecil, Sang Menteri mengeruk dinding pipi Lasih pada bagian dalam mulutnya.
"Nah, kurasa cukup, Nak," kata Menteri Kinanthi. "Untuk selanjutnya kami akan memeriksa bagian-bagian dari tubuhmu ini. Seperti janji kami tadi, kau akan diberitahu hasil penyelidikan kami terkait karib-kerabatmu. Terima kasih, Nak. Sekarang kau boleh kembali ke Bangsal Atmaja."
***
Selanjutnya: Bagian 57 - KETUA BARU
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...