Pandan Selasih menaiki tumpukan batu dan melompat ke seberang. Ia memandangi titik-titik cahaya biru yang semakin besar dan semakin mendekat. Jantungnya berdegup lebih kencang.
Tak lama kemudian muncul rombongan binatang yang merayap-rayap cepat. Rupanya trenggiling bersisik biru! Sisik-sisik birunya memendarkan cahaya. Itulah yang tampak bercahaya di kejauhan tadi.
Beberapa ekor trenggiling biru mendekati anak perempuan berbaju merah itu. Terlihat binatang-binatang tadi mendadak terdiam, dan kemudian malah merayap mundur. Padahal Lasih tidak mengatakan apa-apa.
Sebetulnya, Lasih sedang memelototi para trenggiling itu, mengusir mereka dengan pikiran-nya untuk segera pergi. Matanya yang memandang tajam tak terlihat karena semua orang tengah berada di belakangnya. Yang mereka lihat adalah trenggiling-trenggiling itu memutar arah, kembali berkumpul dengan rombongannya di belakang sana. Dan yang mengejutkan kemudian binatang-binatang aneh itu segera pergi meninggalkan Lasih. Titik-titik cahaya biru itu terlihat berbondong-bondong kembali ke arah kemunculan mereka tadi.
"Mereka pergi menjauh. Apa yang kau katakan pada mereka, Lasih?" ujar Dibal yang ternyata sudah berada di dekat Pandan Selasih.
"Aku tidak mengatakan apa-apa," sahut Lasih jujur. Tetapi ia tidak menunjukkan pada Dibal atau yang lainnya, bahwa ia telah berhasil mengusir mereka dengan pikiran-nya! - alih-alih dengan teriakannya.
Namun kelegaan para lare winih tidak berlangsung lama. Titik-titik cahaya biru kembali membesar. Artinya, trenggiling-trenggiling itu kembali mendekati mereka.
"Lihat itu! Mereka... kembali ke sini?!" seru Andhaka.
"Perhatian lare winih! Saatnya kalian malih rupa lagi!" teriak Pandan Selasih mengomando. Anak perempuan itu tidak mau mengambil risiko dengan kembalinya binatang-binatang itu. "Mereka adalah Wirukecu, atau trenggiling bersisik biru. Jangan dipegang, karena sisiknya mengandung kilat. Kalian bisa tersengat. Itu yang dikatakan oleh buku yang pernah kubaca."
Para lare winih yang telah malih rupa segera mendampingi Pandan Selasih.
"Mengapa mereka bisa kembali lagi, Lasih?" tanya Laksmi yang berdiri di samping Pandan Selasih juga.
"Sang Gembala. Ada yang menggembalakan mereka, dan mereka mematuhi Sang Gembala itu," sahut Lasih, dan meneruskan ucapannya di dalam hati, "dan pengaruh Sang Gembala kemungkinan lebih kuat dibandingkan aku."
Trenggiling-trenggiling itu menggulung tubuhnya dan menggelinding ke arah para lare winih yang telah siap siaga.
Andhaka mengepalkan telapak tangannya yang amat besar itu. Ia mengayunkan tinjunya pada seekor trenggiling yang menggelinding ke arahnya.
Bersamaan dengan itu, Arumdalu melecutkan tangannya yang seperti sulur-sulur, menyambut gulungan trenggiling yang menghampirinya.
Juga Dibal, Giwangkara, dan yang lainnya, mereka menyambut kawanan trenggiling yang menggulung-gulung dan menggelinding itu.
PLAK! CETAR!! KRAK!!!
Hampir bersamaan mereka menyambut serangan itu, membuat trenggiling-trenggiling itu terpental. Binatang-binatang itu saling berbenturan.
DAK! DAR! DHUAAAR!!
Terjadilah ledakan keras membahana.
DHUAAAAARR!!!
Tubuh trenggiling-trenggiling itu hancur. Darah hijau memercik ke segala arah.
Tapi sejurus kemudian tanah terasa ikut bergetar. Terlihat dinding lorong mulai berguguran.
"Oh, atap lorong runtuh!" seru Andhaka.
"Ayo! Ayo semuanya masuk ke lorong buntu lagi!" teriak Pandan Selasih.
Tanah yang bergetaran membuat mereka sulit melangkah. Meskipun sambil merangkak, mereka berusaha secepat mungkin mendaki tumpukan batu untuk menyeberang ke lorong buntu.
Sementara itu runtuhan dinding dan langit-langit tadi melongsor, menyumbat jalur bawah tanah itu. Dan beberapa saat kemudian getaran itu berhenti, menyisakan batu dan tanah yang menumpuk.
"Oh, syukurlah kita masih selamat," ujar Pangeran Arcapada.
Para lare winih saling pandang.
"Tapi tak ada yang bisa kita lakukan di lorong buntu seperti ini," keluh Dibal. "Lama-lama kita akan kehabisan udara untuk bernapas."
"Ya, kau benar, Dibal. Kita terjebak di sini. Dan sebelum kita selesai menyingkirkan bebatuan dan tanah itu, kita pasti sudah kehabisan udara," gumam Andhaka.
Prajurit pengawal Lasih dan para lare winih kembali saling pandang beberapa saat. Wajah mereka semua tampak cemas. Terjebak bukanlah suatu keadaan yang baik.
"Ini semua gara-gara kau, Lasih," ujar Mayang Srini, menuding si Baju Merah. "Lagi-lagi kau membuat ulah. Jika kau tidak meminta membuat jadwal sendiri, kita tak akan berada di sini. Sekarang mana tanggungjawabmu untuk keselamatan kami?!"
Semua orang memandang Pandan Selasih.
"Kita harus tenang," kata Pangeran Arcapada menengahi. "Tak ada gunanya saling menyalahkan. Kita harus menghemat udara."
"Entah bagaimana Lasih mengusir trenggiling-trenggiling aneh itu, Pangeran," ujar Mayang Srini lagi. "Tapi Lasih tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh. Buktinya mereka kembali lagi menghampiri kita."
"Trenggiling adalah binatang yang pandai menggali," kata Pandan Selasih setengah menerawang. "Oh, apakah kalian percaya aku bisa mengendalikan mereka? Kalian percaya? Kalau begitu, aku akan mencoba memanggil kawanan itu untuk menggali tanah yang menimbun lorong ini."
"Kalau begitu ayo lakukan sekarang juga," sahut Mayang Srini ketus.
Lasih menghampiri gundukan tanah yang menggunung. Ia memusatkan pikirannya, mencoba memanggil trenggiling-trenggiling biru itu dengan pikiran-nya. Dalam pikirannya pula, ia memerintah mereka untuk menggali tanah yang menyumbat lorong itu. Cukup lama Lasih berdiam diri di bawah pandangan mata penuh rasa ingin tahu prajurit pengawal dan para lare winih, namun tak ada tanda-tanda binatang-binatang itu muncul. Yang terjadi justru hal yang lain, yaitu terdengarnya kembali dengkuran naga.
Rrrrr.... rrrrr.... rrrrr...
***
Selanjutnya: Bagian 62 - TAMBANG RAHASIA
KAMU SEDANG MEMBACA
HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]
FantasyLasih, anak perempuan berusia sepuluh tahun, diundang ke Istana Hinggiloka oleh Maharaja Mahagraha. Di sana ia diperlakukan istimewa oleh Sang Maharaja, melebihi anak-anak lain yang juga diundang. Maka beredar selentingan Lasih sesungguhnya anak kan...