Bagian 43 - ORANG PENTING?

52 5 0
                                    

Malam itu Bangsal Atmaja penuh orang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu Bangsal Atmaja penuh orang. Di beberapa bagian terlihat orang-orang bergerombol, atau duduk-duduk lesehan di lantai. Bahkan kamar-kamar lare winih juga diatur agar bisa menampung banyak orang.

Terlihat jeruji-jeruji Bangsal Atmaja berwarna merah membara, dan pada celah-celahnya tampak kilat-kilat kecil yang sambar-menyambar. Kelihatannya seekor nyamuk sekalipun tidak akan bisa menembus pertahanan jeruji-jeruji tadi.

Para lare winih sendiri dikumpulkan pada salah satu sudut. Tampak orang-orang di sekitar mereka saling berbicara dengan suara pelan. Entah apa yang dibicarakan, namun berulang-ulang orang-orang memandang ke arah Pandan Selasih. Kesannya anak perempuan berbaju merah itu kini telah menjadi orang penting di Istana Hinggiloka.

"Kalau seseorang memang cukup penting, maka dia tidak akan berada di sini malam ini," kata Mayang Srini, mengedip penuh arti.

"Kurasa kau benar, Mayang," ujar Arumdalu, melirik sekilas ke arah Pandan Selasih. "Hanya orang-orang penting dan kuat saja yang berada di luar Bangsal Atmaja."

Bagi Lasih, ucapan Mayang Srini dan Arumdalu barusan terasa menyindir dirinya, karena keduanya melirik-lirik ke arahnya. Kenyataan bahwa Pandan Selasih sedang berada di dalam Bangsal Atmaja, bukannya di luar bangsal, menunjukkan bahwa anak perempuan itu bukanlah sosok yang cukup penting.

"Aki Guru memberiku sebuah peluit," sela Andhaka. "Jika kalian mau menyebar, silakan saja. Tapi begitu aku meniup peluit, semuanya harus segera berkumpul di tempat ini lagi. Itulah aturannya."

Para lare winih mengangguk-angguk.

"Kalau begitu aku akan ke dapur," kata Arumdalu. "Aku tiba-tiba haus."

"Aku ikut," kata Mayang Srini.

"Aku juga ikut," kata Laksmi. "Aku ingin minum."

Lasih ragu apakah ia akan ikut atau tidak. Namun sebelum ia membuka mulut ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang.

"Nyai Kapti?" ujar Lasih heran.

"Bagaimana keadaanmu, Nak? Kulihat kau sedang tidak nyaman," bisik wanita tua itu. "Bagaimana jika kita mengobrol?"

Lasih tak punya alasan untuk menolak. Ia mengangguk setuju, lalu bersama Nyai Kapti keduanya mencari tempat yang nyaman untuk berbicara. Kemudian dengan tenang Nyai Kapti berbicara tentang keadaan terakhir Istana Hinggiloka. Sebenarnya Pandan Selasih sedang tidak berminat mengobrol, tapi ia berusaha mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.

"Dan tahukah kau, segenap penghuni istana kini telah tahu bahwa kau bisa mengusir serangga-serangga Walang Cundrik?" ujar Nyai Kapti. "Kau menjadi orang terkenal di sini, Nak."

Pandan Selasih menatap mata Nyai Kapti.

"Tapi saya tidak menginginkan keadaan seperti ini," kata Lasih terus terang. "Lagipula 'wajah bertuah' itu bukan sesuatu yang membanggakan."

"Ya, aku mengerti, dan itu semua bukan salahmu. Aku juga sama sekali tidak sedang menyalahkanmu. Kemampuanmu menghalau makhluk-makhluk itu semata-mata karena kau terganggu dengan kehadiran mereka, bukan? Juga penampilanmu yang serba berwarna merah, itu bukan kehendakmu sendiri, kan? Apalagi ada kabar burung yang mengatakan bahwa kau adalah putri dari Maharaja Mahagraha. Nah, Lasih, kurasa itu semua berada di luar kehendakmu. Jadi kau perlu bersikap dengan tepat, Nak."

"Bersikap dengan tepat? Apa maksud Nyai?"

"Kau perlu menceritakan pemikiran atau keresahanmu pada seseorang," kata Nyai Kapti. "Itu bisa mengurangi beban di batinmu."

Pandan Selasih terdiam. Ia harus bercerita kepada seseorang, tapi kepada siapa? Apakah kepada para lare winih? Rasanya tidak. Hubungannya dengan lare winih yang lain saat ini sedang beku. Dan merekapun tengah menjaga jarak dengannya.

"Maksud Nyai, saya harus menceritakan keresahan saya pada Nyai Kapti?" ujar Pandan Selasih.

"Oh, tidak begitu, Nak," ujar Kepala Perpustakaan itu. "Jangan salah mengerti. Kau bebas bercerita kepada siapa saja, tidak harus kepadaku, tapi kepada orang yang kaupercayai. Aku hanya memberi saran saja untuk mengatasi keadaanmu yang kulihat kurang nyaman."

Pandan Selasih tertegun. Ia membatin lagi, siapa yang paling bisa dipercayainya saat ini? Apakah Nyai Adicara yang ketus itu? Tentu tidak, karena secara mengejutkan wanita itu telah menjadi pihak yang tidak bisa dipercaya lagi. Dan dia juga entah berada di mana sekarang. Padahal Lasih sudah mulai menyukai wanita tegas itu sejak dirinya diselamatkan dari ledakan Wisma Bidara - terlepas apakah wanita itu yang telah mengatur semuanya atau bukan.

Bagaimana dengan Gadung Lelono? Atau Kinanthi Maheswari? Atau Mahapatih Parasara? Panji Pataka? Pangeran Arcapada? Ataukah... Nyai Kapti saja?

Tunggu! Batin Lasih.

"Nyai Kapti, saya kira saya sudah tahu kepada siapa harus bercerita," ujar Lasih. "Lihat, itu dia datang. Dia Pangeran Arcapada!"

Kelihatannya Sang Pangeran juga sedang mencari Pandan Selasih, karena anak laki-laki tampan itu langsung menghampirinya.

"Lasih?" ujar Pangeran Arcapada.

"Ya, Pangeran. Ada yang bisa saya bantu?" sambut si Baju Merah.

"Aku pernah berjanji padamu untuk mencarikan buku-buku tentang kisah Putri Merah," kata Pangeran Arcapada. "Aku sudah tahu di mana buku-buku itu berada. Ternyata semuanya disimpan di Ruang Primpen. Aku mengajakmu ke sana sekarang. Bagaimana?"

Lasih agak terkejut karena saat ini semuanya sedang berlindung di Bangsal Atmaja. Tapi sebagian hatinya senang akan kesempatan ini. Namun apakah mereka boleh keluar dari sini?

"Aku sudah meminta ijin kepada Ayahanda Maharaja dan Aki Guru. Mereka membolehkannya," tambah Sang Pangeran.

Pandan Selasih berpaling pada Nyai Kapti.

"Pergilah, Nak," ujar wanita tua itu.

Maka keduanya segera berlalu. Tak jauh dari pintu jeruji membara, Lasih melihat Mayang Srini, Arumdalu, dan Laksmi Larasati. Mereka tampak kaget melihat Lasih dan Pangeran Arcapada hendak keluar dari Bangsal Atmaja.

Lasih tersenyum samar. Tiba-tiba ia bertambah senang. Sindiran para lare winih perempuan kepadanya tadi itu sudah terbalaskan sekarang. Ia boleh keluar dari Bangsal Atmaja! Dan Lasih merasa ia boleh menganggap dirinya orang penting sekarang.

***


Selanjutnya: BAGIAN 44 - UBK

HINGGILOKA Legenda Sang Putri Merah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang